18 Desember 2008

TENTANG MENANGIS

Entah kenapa, akhir-akhir ini saya merasa sangat mudah menangis. Padahal masa PMS sudah selesai, saya juga nggak merasa ada masalah berat yang saya simpan sendiri. Tapi kenapa yaa, kok sekarang sepertinya dicolek sedikit bisa langsung mewek?

Biasanya saya bukan orang yang gampang menangis. Saya memang nggak seperti beberapa teman perempuan saya yang bisa langsung menangis ketika menonton film yang sedih di bioskop. Film Ayat-Ayat Cinta, misalnya, bisa membuat mereka banjir air mata. Saya yang malah mesam-mesem sepanjang film dibilang nggak punya perasaan karena nggak ikutan nangis. Mereka nggak tau aja mata saya sering basah gara-gara Grey's Anatomy.. :P

Akan tetapi, menangis bukan merupakan hal yang cemen bagi saya. Kadang-kadang saya menangis ketika saya ingin. When I feel like crying. Buat saya, tangisan bisa membuat saya lega, walaupun mungkin nggak menyelesaikan masalah. Dengan menangis, paling tidak ada sedikit ganjalan yang terlepaskan, sehingga kemudian saya bisa tertidur karena mata saya terlalu lelah menangis.

Saya akui, saya memang cukup mellow. Saya suka lagu-lagu yang gloomy, lebih suka hujan daripada panas karena bisa ngelamun, dan selalu pengen jalan-jalan ke luar negeri ketika winter. Saya selalu mencatat quote yang menurut saya touchy dari setiap film yang saya tonton, dan terinspirasi karenanya. Saya menikmati deep talking sampai-sampai jadi keseringan colongan.. :P Tapiii, saya nggak pernah merasa se-carried away ini sampai tiap hari selalu mau nangis..

Ah, semoga saja karena pengaruh hujan. Atau hormon. Atau apapun lah, yang make sense. Anybody feels like figuring this out for me? :D

5 November 2008

DEATH BECOMES US

Semenjak mengerti arti kematian, saya percaya jika hal itu pasti terjadi, dan bisa terjadi bahkan pada saat yang tak terduga. Akan tetapi, sepertinya saya belum sepenuhnya menginsyafi jika kematian itu sangat dekat. Sebagai manusia biasa yang sangat jauh dari kata sempurna, saya sering sok tahu tentang takdir. Saya menganggap besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan tahun depan saya akan masih hidup. Saya sering kali menganggap hidup saya masih panjang dan perlahan-lahan menyingkirkan fakta bahwa saya bisa mati tahun depan, minggu depan, lusa, besok, bahkan sebelum saya menyelesaikan post ini. Sebelum tidur, saya lebih sering merasa saya pasti akan bangun lagi. Padahal, bisa saja tidur itu adalah awal dari sebuah tidur panjang menuju hari kebangkitan nanti.

Saya percaya suatu saat saya akan mati. Tapi entah mengapa saya masih saja berkata tidak baik kepada kedua orang tua saya, menyakiti hati orang-orang di sekitar saya, dan melakukan perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Saya merasa hidup saya masih panjang. Saya merasa saya akan masih punya kesempatan untuk meminta maaf dan bertaubat. Padahal saya tidak tahu tanggal pasti kematian saya, seperti Imam Samudra dan Amrozi yang sudah "dijadwalkan" kematiannya. Akan tetapi, lalu saya berpikir, apakah jika saya tahu kapan saya mati, lalu saya akan terus menerus bertaubat dan memohon maaf kepada semua orang? Apakah saya akan tahan duduk lama di atas sajadah dengan cucuran air mata yang tidak dibuat-buat? Apakah saya akan bisa tidak mengatakan "ah" kepada orang tua saya? Hm.. sulit. Karena menurut saya, tahan untuk berbuat baik itu sulit. Ada saja godaannya, dan intinya kembali pada pemikiran bahwa, "Ah kayanya gue masih hidup deh, besok." lantas memilih untuk melakukan hal-hal lain yang terasa lebih menyenangkan untuk saat itu.

Harapan untuk hidup lebih lama, keinginan untuk mewujudkan rencana dan optimisme menghadapi masa depan memang wajar dimiliki manusia, tapi sampai saat ini saya masih merasa kesulitan untuk terus mengingat mati ketika saya membuat semua rencana itu. Saya sering kali lebih memilih untuk terhanyut dengan masa depan yang sifatnya tentatif daripada berkonsentrasi pada kematian yang sifatnya pasti. Mungkin karena saya senang merasa memiliki kendali akan masa depan yang sementara. Mungkin karena saya memang belum siap mati. Karena saya masih ingin hidup lebih lama, dan diberikan kesempatan lebih banyak untuk melakukan semua hal yang saya inginkan, dan ingin Allah memberi saya waktu sampai saya merasa siap mati. Karena masa depan yang sementara, masa depan di dunia, terasa lebih indah jika dibayangkan, daripada membayangkan siksa kubur atau kesendirian ketika saya mati.

Akan tetapi, ketika saya mulai melupakan mati dan merasa diri ini seperti robot yang kehilangan jiwa, saya mengingat almarhum adik saya yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu. Ketika merunut semua yang terjadi padanya, saya merinding. Saya merasa maut sangat dekat, dan waktu saya sebagai manusia yang penuh dosa ini sangat singkat. Adik saya yang pergi secara tiba-tiba mungkin tidak menyadari bahwa hari itu, sore itu, adalah sore terakhir dia berpuasa tanpa pernah sempat berbuka. Adik saya mungkin tidak menyadari kalau sebuah truk cor yang menabraknyalah yang menjadi penyebab kematiannya. Yang pasti, adik saya tidak punya kendali atas semua itu (semoga Allah mengendalikan mulut dan hatinya untuk mengucap kalimat syahadat sebelum hembusan nafas terakhirnya, AMIN).

Mengingatnya membuat saya selalu menangis. Tapi saya tidak ingin menangisi kepergiannya, saya ingin tangisan ini menjadi tangisan penyesalan atas semua dosa yang telah saya perbuat. Saya ingin tangisan ini menjadi bagian dari taubatannasuha, bukan taubat sambel yang sifatnya angin-anginan. Saya ingin tangisan ini bisa menyelamatkan saya di hari akhir, bukan justru memberatkan adik saya. Saya ingin tangisan ini bisa menjadikan saya seperti adik saya, orang yang sangat patuh terhadap orang tua, orang yang begitu dicintai teman-temannya, orang yang diantarkan oleh rombongan pelayat yang sangat banyak, orang yang sampai detik ini masih dipuji, orang yang tidak pernah terlihat atau terdengar buruk, dan orang yang Insya Allah meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Saya ingin mati dalam keadaan baik seperti adik saya, apapun caranya karena pada akhirnya bukan cara seperti kecelakaan atau dibunuh yang membuat seseorang menjadi baik/buruk, tetapi keadaan pada kematiannya. Saya ingin merasa siap mati.

Lantas, sejauh mana saya sanggup mempersiapkan kematian? Sejauh mana kamu mempersiapkan kematian? Semoga kita semua termasuk orang yang akan mati dalam keadaan khusnul khatimah dan semoga kita terhindar dari segala sifat sombong. Amin ya rabbal 'alamin.

13 Agustus 2008

I WON'T HURRY LOVE

Akhir-akhir ini saya semakin sering mendengar keluhan teman-teman sesama jomblo. Keluhannya bervariasi, mulai dari masalah PMDK (Pdkt Mulu Dapet Kaga), pasaran yang turun, capek nungguin (dan mengejar) i-think-she/he-is-the-right-one, sampai yang berurusan dengan cowok orang (thank God I’m over this HAAHHAHAHA). Sebenarnya kurang tepat juga kalau mereka curhat ke saya, karena toh saya juga amatir di bidang cari pacar dan profesional di sektor jomblo. Tapi mungkin mereka butuh orang yang senasib sepenanggungan jadi mereka curhat ke saya.


Dari sekian banyak orang di list curhat itu sebagian besar ngebet pengen punya pacar dan berjuang ekstra keras untuk have one. Dari usaha halal (baca: target single) sampai yang nekat memancing di air keruh (baca: mepet pacar orang), tapi nggak dapet-dapet juga. Semua dilakukan karena udah bosen jadi jomblo, pengen nikah muda, dan kangen dengan perasaan jatuh cinta itu sendiri. Menurut saya memang understandable dan alamiah, sih.. apalagi saya juga single. Walaupun saya bukan tipe orang yang nggak bisa (atau biasa) sendiri, kadang-kadang saya juga bosen jadi jomblo. Bosen dengan perasaan yang flat-flat aja. Kan kata orang kalo jatuh cinta itu like butterflies in your stomach, ada sensasi menyenangkan yang nggak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Tapi bedanya, saya nggak mau terburu-buru merasakan sensasi aneh itu.. nggak mau buru-buru jatuh cinta. Saya mau menjalani semua proses dalam hidup saya secara natural. Dan saya memilih untuk sabar. Sabar karena saya memang tergolong perempuan konservatif yang malu bergerak sebelum orang yang saya suka move duluan; dan sabar karena saya tau hari itu akan datang tanpa kita kejar. Hari ketika saya dan lifetime partner saya merasa yakin bahwa we have found each other.

Kata seorang sahabat, patience alone is not enough. Tapi toh saya juga ikhtiar: bergaul dengan banyak orang dan berdoa. Bertemu banyak orang memungkinkan saya mengenal berbagai macam tipe orang dan memperbesar kemungkinan menemukan seseorang yang saya cari. Berdoa membuat saya merasa yakin akan dipertemukan oleh laki-laki yang terbaik untuk saya itu. Dan sepertinya, sampai saat ini saya merasa cukup, dan yakin dengan apa yang saya lakukan. Saya masih merasa nyaman dengan status jomblo dan nggak khawatir dengan masalah jodoh, walaupun waktu ideal menikah menurut saya tinggal 3 tahun lagi. Mungkin saya merasa seperti ini karena belum ketemu dengan seseorang yang klik itu (atau mungkin udah ketemu tapi masih belum yakin). Mungkin juga keinginan itu kalah dengan keinginan mengumpulkan uang untuk orang tua saya dan berkarir. Atau mungkin juga, karena saat ini saya lebih memilih waiting to be found instead of searching for.

Pada dasarnya sih memang kembali lagi ke masing-masing orang. Kebetulan aja saya memang tipe orang yang santai, nggak mau terburu-buru, dan sangat lurus dalam hal ini. Kalau orang lain terbiasa mengejar, it is definitely fine with me. Yang jelas kalau mereka curhat ke saya, ujung-ujungnya pasti saya suruh sabar. Karena itu yang saya lakukan. Emang sih kalau dari segi hasil belum keliatan.. hehehe.. tapi setidaknya saya merasa tenang. Nggak kaya sopir mikrolet yang seradak seruduk cari penumpang, begitu penumpangnya memilih mikrolet di belakang lantas sopir itu ngamuk. Yang ada kan deg-degan melulu.. heheheheh.. So just do what you believe in, people. If it does not work, be patient. If it still doesn’t, putar haluaaaaannn! Hahahhahahaa.. ah, you know yourself better than me.

Sebagai penutup, saya jadi ingat sebuah percakapan di film My Blueberry Nights, salah satu film yang menurut saya memiliki lines yang cukup nampol dan jadi referensi post ini:


Katya: Sometimes, even if you have the keys those doors still can't be opened. Can they?
Jeremy: Even if the door is open, the person you're looking for may not be there, Katya.

Then you decide, friends. :)

1 Agustus 2008

THE BIRTHDAY BACHELOR (ETTE)

Bagi saya, ulang tahun merupakan momen yang spesial. Spesial karena di hari itu saya diberikan kesempatan untuk menjadi orang penting, walaupun cuma sehari.. hehehehe… (This is a good example of self-love, but believe me, this is also a part of self-esteem. Even wikipedia redirected self-love to self-esteem. HAHA). Paling tidak, momen itu juga menjadi salah satu alasan mengapa saya setuju dengan Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow tentang pentingnya esteem.

Akan tetapi, standar keistimewaan hari ulang tahun berbeda-beda di setiap tahunnya, walaupun intinya tetap sama: jadi orang penting. Waktu SD misalnya, saya senang kalau seluruh keluarga besar datang ke rumah dan membawa black forest enak. Apalagi kalau ibu saya menyediakan makanan yang tak kalah lezatnya untuk dinikmati bersama. Kado-kado yang saya terima juga menjadi pelengkap kebahagiaan di hari ulang tahun itu. Lebaran pun kalah hebohnya dibandingkan hari ulang tahun. Tetapi ketika SMP dan mulai ganjen (baca: kenal cowok dan pacaran), menjelang ulang tahun saya senang menebak-nebak kado apa yang akan pacar saya berikan. Menraktir teman-teman pun mulai menjadi kewajiban di masa ini. Biasanya ada proses barter yang dilakukan, saya menraktir mereka, dan mereka memberikan kado kepada saya. Hehehe sama aja boong, ya? Tapi toh nggak masalah, namanya juga simbiosis mutualisme.

SMA menjadi masa di mana hari ulang tahun semakin heboh dan semakin spesial buat saya. Heboh karena orang yang berulang tahun akan diguyur, diceplokin, diceburin, dan di- di- lainnya yang intinya penyiksaan buat the birthday person. Udah dikerjain, minta ditraktir makan-makan pula! Walaupun kelihatannya merugikan, tetap saja spesial. Apalagi ketika sweet seventeen, ulang tahun seakan-akan menjadi lomba adu gengsi; tiap orang (biasanya perempuan, termasuk saya hahaha) memilih kafe atau restoran paling hip supaya ulang tahunnya berkesan. Di periode ini saya juga mulai mengenal yang namanya first cake.. heheheheheh.. kado ulang tahun dari pacar pun semakin saya tunggu selain sms/telepon jam 00.00 pada hari-H. Intinya, ngarep pol-polan.

Setelah resmi menjadi mahasiswa, ukuran spesial itu mengalami perubahan lagi. Ketika punya pacar, pasti ada acara dinner berdua. Kado dari pacar biasanya selalu dilengkapi sebuket atau setangkai bunga (ini sih emang gue aja yang demen bunga! untung mantan pengertian! ;P) dan kartu ucapan berisi kata-kata romantis yang mendekati dangdut, tapi tetap saja terasa sweet. Pesta kecil di rumah dengan mengundang sepupu, oom dan tante sudah bukan menjadi suatu keharusan. Yang penting teman-teman. Traktir pun bisa di mana saja, nggak perlu lagi di kafe atau restoran dengan undangan khusus seperti ketika umur 17. Mahasiswa lebih fleksibel, di mana aja yang penting gratis. Tapi kalau bisa sih tetap yang mahalan dikit. Hehehe.. o iya, pada masa ini ada kesenangan tersendiri kalau banyak teman yang mengucapkan selamat ulang tahun lewat sms, Friendster dan Facebook. Kata teman saya, seberapa populernya seseorang dapat diukur dari situ. Menurut saya sih nggak segitunya, tapi memang senang melihat rangkaian birthday wishes di inbox dan account saya.

Selama ini, inti dari ulang tahun adalah senang-senang. Hari itu saya nggak mau sedih atau pusing, walau sedikitpun. Memang sih tidak ada yang sempurna, seperti teman baik yang melupakan hari ulang tahun, menurunnya jumlah ang pau yang diterima (HAHAHAH) atau pacar yang terlambat mengucapkan selamat (baca: keduluan orang lain). Atau malah nggak ada pacar sama sekali, bawaannya jadi membandingkan dengan tahun sebelumnya (mungkin ini terdengar shallow, tapi memang terasa ada yang kurang, ko..;)).

Nah, bagi saya, tahun ini momen ulang tahun menjadi sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dibilang spesial, sangat spesial karena 29 Juli tahun ini merupakan H-2 sidang skripsi saya. Dibilang tidak spesial karena kehebohan hari ulang tahun jadi berkurang kadarnya karena saya repot mempersiapkan diri untuk menghadapi pembantaian pada saat sidang skripsi. Intinya sih memang perasaan yang campur aduk, malah deg-degan sidang skripsinya yang cenderung dominan. Di hari itu saya merasa skripsi saya sangat jauh dari kata maksimal setelah berulang kali membacanya. Di hari itu saya cuma mengharapkan sebuah kado istimewa yang akan datang terlambat, yaitu gelar kesarjanaan pada 31 Juli. Sebuah kado yang abstrak, nggak bisa saya pegang tetapi juga nggak akan layu seperti mawar putih, yang akan terus berbekas, dan terbukti nyata.

Dan akhirnya, Alhamdulillah. Kado itu datang dengan bingkisan yang sempurna. Dengan hanya revisi teknis berupa peletakan nomor halaman, penjudulan tabel dan gambar, serta kata-kata dalam bahasa Inggris dalam kata pengantar yang mesti dihilangkan, saya menjadi sarjana komunikasi pada H-2 ulang tahun saya. Walaupun IPK tidak sesempurna si jenius ini, saya tetap menganggapnya sebagai sebuah hadiah ulang tahun yang paling sempurna… sejauh ini.

That day, I did not need flowers or boyfriend either. That day, I got best friends and two delicious birthday cakes. That day, I thought I was born again on the 31st of July.

25 Juli 2008

NOT RIGHT AND NOT OKAY

Saya nggak pernah menyangka akan dekat dengan dia. Boro-boro, memuji dia dalam hati aja nggak pernah. Okelah saya tau dia punya banyak kelebihan, tapi saya nggak suka the way he dresses, the way he talks, and the way he behaves (walaupun cukup banyak cewek yang suka dengannya -- dan sepertinya dia nyadar! Saya benci itu!). Tapi saya nggak pernah menyatakan ketidaksukaan saya tentang apa yang disukainya. Saya tetap respek padanya, toh saya nggak perlu menyukai apa yang dia suka dan membenci apa yang dia benci. Itu kan tentang selera, cara dan gaya hidup, jadi bebas-bebas aja.

Saya juga jarang ngobrol dengan dia. Menurut saya nggak perlu. Dan memang jarang ada kesempatan yang memaksa kami berdua ngobrol. Menurut saya dia dingin. Walaupun akhirnya saya tau dia sama sekali nggak dingin, malah sangat friendly dan warm. Dan saya bisa dibilang nyaman nggak nyaman dengan keadaan itu.

Mungkin saya gr, atau dia memang jago flirting. Yang jelas, saya nyaman ketika ngobrol dengan dia karena ternyata kami berdua nyambung. Bahkan bisa dibilang banyak persamaan yang kami miliki. Tapi semua kenyamanan itu seakan-akan jadi sesuatu yang berbahaya buat saya ketika saya mengingat satu hal: he is already taken (not married yet, but already in a relationship).
Dan ketika saya mencoba menjauh, sepertinya dia ngeh akan hal itu. Dia pun ikut menjauh. Entah sudah berapa minggu ini terjadi. Nggak ada lagi jokes garing yang membuat saya senyum-senyum sendiri dan nggak ada lagi cerita-ceritanya yang bikin saya semangat dan termotivasi.

Jujur, saya kangen. Dan setiap perasaan itu timbul, saya harus menampar diri saya sendiri to keep my feet on the ground. Saya nggak mau terlibat lebih jauh dalam hubungan orang lain, apalagi jadi pengganggu. OGAH. Sialnya, saya kangen dia.

Oh God I REALLY hate this.

"LEO : Remove your ego from the situation and let yourself be vulnerable and honest today."


PS: I dont believe in horoscope. I read it just for fun. And right after I posted this, I checked my Friendster account and found the sentence above. I still dont believe it, but think it was pretty impressive to end this post.

5 Juli 2008

A DAY OF UNFORTUNATE EVENTS

Tadinya post ini akan saya beri judul "Near-Death Experience" mengingat siang itu saya hampir mengalami sebuah kecelakaan. Tetapi setelah hari itu berakhir, saya jadi pengen mengganti judulnya yang menjadi terasa kurang penting. Sampai saya menulis akhir paragraf ini, i still have no idea. Let's see if i can find one by the time i finish this. :)

Hari itu adalah Jumat kemarin, 4 Juli. Tanggal yang bersejarah buat orang Amerika dan akhirnya juga menjadi sejarah buat saya. Diawali dengan begadang dua malam sebelumnya karena bab 4 yang nggak selesai-selesai, pagi itu saya masih menambah halaman yang menurut saya masih jauh dari kata "wajar" untuk sebuah bab tentang pembahasan masalah skripsi kualitatif. Sh*t, masih kurang tebel! Spasinya nggak bisa ditambah apa, ya? Kalo nggak hurufnya ganti Indian Poker aja, deh.. Saya berkata pada diri sendiri. Sebagai seorang procrastinator sejati, saya masih aja membuang-buang waktu dengan memikirkan sesuatu yang nggak penting.. dan nggak bisa nambah halaman di bab 4. Padahal rencananya jam 9 pagi saya harus sudah berangkat ke Jatibening, nyegat Primajasa arah Garut atau Tasik, untuk sampai ke Jatinangor sebelum shalat Jumat. Tapi jam sudah menunjuk ke angka 5. Saya masih harus menganalisis beberapa subbagian. Aaaaaaaaarrrgggghhhhhhh!! Jadi nyesel karna masih aja menunda dengan alasan "meremin mata" di atas tempat tidur beberapa jam sebelumnya.. kalo nggak kan udah tinggal nge-print! But as the old saying goes, "Penyesalan selalu datang terlambat", semakin percuma kalo saya tetap menyesal dan memarahi diri sendiri. Malah nggak selesai itu bab. Akhirnya saya ngebut, copy paste dari sumber-sumber yang bisa di-copy paste untuk sementara waktu (hey, i'm an honest cheater!) demi bisa ngejar waktu.. dan zap! Jam 10 saya baru selesai. Belum mandi. Mama teriak-teriak nyuruh makan mie rebus yang udah lurus kaya rambut hasil catokan karena kelamaan dicuekin. Dan oh God, belum nyetrika baju dan kerudung (close friends know this weird "nggak-bisa-pergi-sebelum-nyetrika" thingy). AAAARGHHHHHHHH.

Saat itu satu jam terasa seperti 10 menit (oke, saya lebay.). Tau-tau udah jam 11 lewat 10. Tinggal masang jarum pentul di kerudungan, lalu berangkat. Di tengah sedikit kelegaan itu, Aryo si adik semata wayang teriak, "Gue belom isi bensin, lho!!" @*$%*$!&$(!

"Udah deehhh, isi bensinnya ntar aja abis nganterin gue!" saya mencoba positive thinking dan menghilangkan kemungkinan dorong motor di tengah jalan.

"Kalo mogok gue nggak nanggung lho, ya!!" dia sedikit marah. Dan khawatir. Khawatir motornya keburu dehidrasi dan dia repot dorong motor sampai pom bensin. Khawatir saya malah ngacir dengan motor tukang ojek di tengah-tengah kerepotannya itu.

"Udee, bismillah aje." jawab saya sambil naik ke boncengan.

Alhamdulillah, sampai Jatibening busnya belum ada. Ah, at least saya nggak perlu keringetan dorong motor. Heheheh.. dan dalam beberapa menit si bus datang juga. Primajasa Jakarta-Garut, yang menurut saya lebih resik dan wangi daripada Jakarta-Tasik (no offense). Alhamdulillah. Tapi ko penuh, ya? Karena aa' kondekturnya nggak jawab waktu saya nanya "A', penuh ya?" lalu langsung nyuruh masuk, saya pikir masih ada tempat duduk. Alhamdulillah. Tapi ketika naik tangga bus, pak sopir menggelar koran lalu mengatakan, "sini Neng." &!(&))*)@*)&@#*@#(!@)( Perasaan saya makin nggak enak. Tapi ya udahlah, daripada tambah lama nunggu akhirnya saya duduk di sebelah persneling, di depan kaki orang, di atas koran yang digelar pak sopir. Alhamdulillah, daripada berdiri...

Ketika sedang asik berharap bus akan ngebut dan bisa sampai ke Jatinangor dalam 1 1/2 jam, sebuah benturan keras datang dari arah kiri. Lalu teriakan panik dan pasrah mulai dari "Aaaaaaaaaaaaaaaaa" sampai "Allahu Akbar" terdengar. Saat saya masih loading, benturan kembali terdengar, kali ini dari arah kanan. Benturan yang lebih mirip goresan panjang yang bunyinya bikin ngilu. Goresan dari marka jalan beton yang membuat bus oleng dan saya bengong. Nggak tau mesti ngapain. Ya Allah!! Pak sopir sibuk mengendalikan kemudi. Saya semakin merasa bego.

Beberapa detik kemudian, saya masih melongo, tapi bus udah nggak oleng. Orang-orang juga udah nggak ada yang teriak, cuma menghela nafas dan ngomong sana sini. Sumpah saya saat itu masih bengong. Masih nggak percaya dengan apa yang baru saja saya alami. Kalau aja bus saat itu dalam kecepatan tinggi, kalau aja bus itu nggak bisa dikendalikan lagi, saya pasti ..... Ya Allah, i was really close to death. Jantung saya serasa berhenti berdetak.

Lalu kondektur, sopir dan beberapa penumpang laki-laki berhamburan turun dari bus. Bus Primajasa lain yang kebetulan berada tak jauh dari bus saya juga berhenti. Kondektur dan sopirnya keluar. Mobil yang menyebabkan benturan keras pertama berada di belakang bus, saya belum tau apa yang sebenarnya terjadi. Saya masih mencerna semuanya. Dan tiba-tiba pengen nangis, nangis karena merasa lega. Lega karena belum dipertemukan dengan kematian yang belum siap saya hadapi. Apalagi di waktu saya dalam perjalanan mengusahakan kesarjanaan saya itu... ah. Rasanya berantakan banget. Saya nggak bisa mendeskripsikan di sini. Mudah-mudahan aja teman-teman yang baca ngerti...

Sampai saya naik ojek setelah turun di Cileunyi, saya masih memikirkan kejadian itu. Bagaimana bunyi benturan yang sepertinya masih terdengar di kuping saya, bagaimana ekspresi muka kondektur dan sopir bus, bagaimana suara-suara penumpang yang bikin saya merinding, dan bagaimana wajah CENGAR-CENGIR si pengemudi mobil Panther --yang ternyata nggak bisa mengendalikan stirnya dalam kecepatan tinggi dari arah bahu jalan (bus yang saya tumpangi ada di jalur paling cepat) sehingga menabrak bus-- yang akhirnya saya liat waktu bus berhenti di rest area tempat perwakilan Primajasa berada. Ampun deh, mukanya bikin kesel setengah mati!!!! Dengan sunglasses yang diletakkan di atas kepala, dia SOK NGELIAT2 bagian bus yang penyok. Masih dengan CENGIRAN yang salah tempat itu. (%&#)#*)@#^*)@!! Ya ampun, gue beneran hampir mati tadi...


Perasaan itu terus ada walaupun kadar ke-bikin merinding-annya semakin berkurang ketika saya sampai di BNI pangkalan damri Jatinangor untuk melakukan registrasi (baca: bayaran) dan kampus untuk mengurus syarat-syarat sidang yang lain. Akhirnya sampai juga. Walaupun "perjalanan" saya belum berhenti sampai di situ. Kampus yang sepi membuat saya sempat suudzon, jangan-jangan udah tutup nih SBA. Tapi ketika melihat Pak Yaya masih ada di bangkunya, saya lega. Walaupun setelah itu keki karena nggak boleh minta surat keterangan udah-bayaran-tapi-belum-didebet karena sks saya di transkrip yang masih 138. Ampun deh Pak, revisi laporan job training Insya Allah pasti saya kasih hari Senin ke Bu Iim. Biar nilainya langsung dapet hari itu juga. Tapi toh percuma, nggak bisa. ##)@*(!@&(!@&#!@)!()

Kecewa di SBA, puas di perpustakaan kampus. Kurang dari 5 menit surat bebas perpustakaan (nggak gini nih, nama surat sebenernya) saya dapat di tangan. Langsuuunggg saya ke jurusan dengan harap-harap cemas. Semoga belum pada pulang. Emang sih masih jam 14.15, tapi kampus udah kaya kuburan. Siapa tau gara-gara sepi jurusan diputuskan untuk tutup lebih cepat. Gawat, surat pernyataan foto-ijazah-pake-jilbab itu belum ditempeli materai dan foto. Padahal saya mau ngasih suratnya ke dekanat supaya Senin sudah bisa saya ambil lagi setelah pak dekan tanda tangan. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaalhamdulillah. Jurusan masih buka ternyata, walaupun lagi dipel. Tandanya hampir ditutup. Pak Dahlan juga udah sibuk YM-an, Pak Yudi mondar-mandir sambil bawa gelas, Bu Ita udah beres-beres. Terserah deh, yang penting gue minta lem, nip dosen wali, dan list persyaratan sidang. The time REALLY was running out and I had not delivered the form to gedung 1 yet. Pengen buru-buru, Bu Ita malah ngajak ngobrol soal gas. Abis itu tentang rumah tipe 21-nya. Abis itu tentang harga gas yang naik. Abis itu tentang korelasi di antara ketiganya. Abis itu... (@&#)@(#)!@&!@^@_#)@#_#(#*#^#*.

Jam 14.45, saya balik lagi ke gedung 1 untuk menaruh surat. Di tangga papasan dengan seorang bapak. Nyapa nggak, ya. Nyapa. "Pak, udah tutup, ya?" (itu mah nanya) sambil melirik ke ruang pak dekan. "Iya, udah tutup." Loading, baru saya nyadar. RUANGAN PAK DEKAN GELAP GULITA. (&@()#&^@@(!*#!@)(!)@)@*#!@*

Untung saya cepet eling, lalu inget belum shalat Dzuhur. Istighfar sambil jalan ke mushalla. Lemes. Gondok. Sia-sia gue ke kampus! Eh Astaghfirullah, nggak ko.. kan dapet surat perpus (alah 5 menit jadi!! nggak ada orang ribet yang mesti tanda tangan!!). Ketika melihat Ain & Aris di depan mushalla, sedikit kegondokan saya berganti senyum. Sadar itu udah hampir jam 3 dan masih harus ke Bandung untuk ketemu dosen pembimbing buat minta tanda tangan rekomendasi sidang komprehensif (tentu saja setelah bab 4 saya disetujui), setelah shalat saya pamit walaupun merasa maleeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeees banget ke Bandung. Tukang ojek terakhir yang mangkal di Fikom mendapatkan kembali bagian dari rezekinya hari itu lewat tarif Fikom-Pangdam yang saya bayar. Perasaan masih kesel, hati masih nggak enak, tapi ya udahlah. Yang penting abis dari LPM saya bisa pulang lagi ke Jakarta. OH YA AMPUN, BELUM NELFON TRAVEL. Aaaa pikun banget sih gueeee!!! Sambil nunggu Damri jurusan Dipati Ukur itu jalan, saya mencoba menelepon travel agent --yang harga tiketnya paling murah duluan--. NETWORK BUSY. MENTARI KENTUNG!! Di saat-saat kritis gitu malah susah diajak kerjasama. Dan bisa ditebak, saya nggak dapet tiket yang paling murah. $!@!#*!^)!*@)*

Baru mau nelfon travel agent kedua, sebuah sms masuk. Dari Quary, teman satu dosen pembimbing saya. Ndah, lo nggak usah ke Bandung. Pak Iri nggak ada. Jadinya besok jam12.


..... BUNUH AJA GUE SEKARANG.


Beneran, deh. Saking keselnya saya sompral. Nggak inget kalau sebelumnya saya hampir terbunuh. Saat itu saya semakin gondok, semakin sebel, dan tiba-tiba ngerasa sia-sia karena semua nggak berjalan sesuai rencana. Rencana untuk bolak-balik Jakarta-Bandung-Jakarta karena Sabtu mau ke SD, SMP, dan SMA saya untuk legalisir ijazah (yang juga adalah persyaratan sidang); tapi justru harus ke dosen pembimbing. Jam 12 pula. Nggak mungkin kekejar kalo masih maksa legalisir, sekolah pasti udah tutup pulang dari Bandung.

Kemudian saya coba memikirkan rencana kedua. Telepon Pak Iriana, tanya apakah beliau ke kampus hari Senin, setelah saya inget Bu Ita bilang Senin ada rapat dosen. At least jadinya saya bisa tetep pulang ke Jakarta hari Jumat itu, dan legalisir ijazah besoknya.

"Halo Pak Iri, saya Indah mahasiswa bimbingan Bapak. Bapak hari Senin ada di Nangor, nggak?"

"Nggak, saya mau ke Bogor. Besok aja bimbingannya."
@)$#*@!$)&$^##^#$#(#$(!)_

Terpaksa harus nginep. Tapi di Nangor nggak ada anak-anak. Eh ada deng, Quary & Ain. Tapi saya nggak bawa baju & kerudung, sementara Quary & Ain nggak pake kerudung. Dan nggak gendut kaya saya. UGHHH.

Tiba-tiba teringat seorang sahabat saya, Wulan (kalau lagi bingung emang suka lama ngeh-nya). Rumahnya emang tempat kabur paling asik. Baju seukuran (walaupun tetep kecilan dia menurut saya), sama-sama pake kerudung. Dan rumahnya di Buah Batu, akses lebih gampang kalau mau ke LPM besok siang.

"Kemane aje loooo.. ya boleh lah bos, nginep tempat gue. Tapi gue lagi latian marching band dulu."

"Gampang, gue ke Bandung deh sekarang. Ntar kite ketemuan aja di mana kek, atau lo kabarin aja kalo dah pulang. Biar gue langsung ke rumahlo."

Rasanya kaya mendengar bedug Maghrib di bulan puasa. Lega. Hehhehehehe walaupun masih sepet gara-gara semua kejadian yang saya alami hari itu. Ah udahlah... semuanya pasti ada hikmahnya. Saya yakin Allah akan memberi saya sesuatu. Amin. TAPI SUMPAH GUE KESEL BANGET... (setan's speaking. you may continue cursing and screaming)

Akhirnya saya naik bus Damri lagi (oia abis nerima sms dari Quary tadi saya jadi bingung, trus malah turun bus karena merasa nggak perlu lagi ke Bandung). Saya inget sahabat saya yang lain, Izar, ada di Dipati Ukur karena mau minta tanda tangan ketua jurusan saya yang sedang menghadiri acara pengukuhan guru besar di kampus DU. Sementara nunggu Wulan pulang, saya berniat nyamperin Izar, biar nanti bisa pulang bareng (rumah Izar dekat dengan rumah Wulan). Sekalian bisa makan bareng dulu, nyamperin sahabat saya yang lain, Omar, di rental PS-nya di samping kampus DU, ngobrol, apa kek. Saya pun mulai menyusun rencana lagi. Dengan sekaleng Coca Cola Zero (i'd been craving for it) di tangan, semilir angin sore, dan bus Damri yang nggak terlalu penuh, saya merasa jauh lebih tenang... dan ngantuk. Hehehehheeh.. ;)

Apa yang terjadi selanjutnya... membuat saya merasa semakin lega. Dan tenang. With my best friends around me. Ketika melihat Izar nunggu saya dengan sabar dan kemudian memeluk saya, ketika mendengar cerita Omar yang membuat saya tertawa, ketika bebek bakar Van Java yang udah lama nggak saya makan itu terasa enak banget di mulut, semua kejadian yang menyulut emosi siang itu seakan nggak berarti apa-apa buat saya. Walaupun saya nggak akan pernah lupa gimana kencengnya benturan mobil Panther itu, ekspresi helpless Pak Yaya yang nggak bisa memproses apa-apa, gelapnya ruang pak dekan, dan bubarnya semua rencana awal yang sudah saya susun, saya nggak mau menganggap hari itu sebagai hari sial saya. Karena saya tau, Allah pasti sudah mempersiapkan sesuatu yang indah untuk mengganti semua kekecewaan saya itu.


Dan kehadiran sahabat-sahabat saya malam itu merupakan sesuatu yang indah.


Dan tanda tangan Pak Iriana di lembar pengesahan sidang komprehensif esok harinya semakin mempertegas keindahan pemberian Allah.


Dan semakin membuat saya yakin, that everything happens for a reason.



"the darkest night is the one before dawn." (Anonymous)

26 Februari 2008

BETWEEN THE MAN OF MY DREAMS AND THE LOVE OF MY LIFE

"GOSSIP GIRL" : Nate Archibald
He's torn between the love of his life and the girl of his dreams

Kata-kata ini saya baca beberapa minggu yang lalu ketika saya iseng-iseng browsing ke tv.yahoo.com. Waktu itu saya sedang mencari informasi tentang kelanjutan serial favorit saya, Gossip Girl, yang ditunda kelanjutannya karena writer's strike. Tapi sekarang sih ALHAMDULILLAH strike-nya udah selesai, jadi udah mau shooting lagi.. hehehe can't wait to see para abege itu berantem lagi hahahahha.. such a guilty pleasure! ;P

Anyway, kembali ke topik semula, saya sempat diam setelah membaca kata-kata itu. Mencerna, lalu merasa perlu mempertanyakannya atau membahas dengan orang-orang dekat. Tapi toh akhirnya cuma saya simpan sendiri karena saya belum mendapat cukup pencerahan lebih lanjut tentang itu. Kata-kata itu tetap tersimpan dengan rapi di memori saya hingga hari ini, setelah secara kebetulan saya disadarkan akan arti kata-kata itu.

Hari ini saya habiskan di kampus untuk ngobrol dengan banyak orang. Salah satu orang itu adalah dia, yang sepertinya masuk ke dalam kategori "man of my dreams". Setelah terlibat dalam percakapan yang cukup lama, saya sadar selama ini saya menyimpan banyak denial. Saya selalu menyangkal dia adalah sosok seorang yang pantas saya kagumi. Saya nggak pernah sekalipun menganggap dia serius, walaupun saya juga nggak sedikitpun meremehkan dia. Hubungan kami.. mm agak sulit mendeskripsikannya. Yang jelas saya kenal dia dari seorang teman baik. Awalnya sama-sama merasa nggak perlu mengenal satu sama lain sampai suatu saat teman baik saya bilang dia mau meminjam sebuah buku dari saya. Dari situ saya dan dia mulai sering ngobrol dan bercanda, dan saya lupa gimana awalnya, kami beberapa kali sempat saling bercerita tentang pasangan masing-masing yang berujung saling sepet. Sayangnya anak kecil ini menang 1 angka dari saya, karena walaupun beberapa kali putus-nyambung dengan pacarnya, dia masih bisa mempertahankan ke-unavailability-nya sampai sekarang. Sementara saya? K.O. setelah 2 ronde "bolak-balik" itu.. heheheh.. ;D Sejak itu saya makin ngenes, dia makin ngelunjak dengan sejuta sindiran, ledekan or whatsoever ketika saya cuma bisa nyengir gondok.

Our relationship stays inside the box. Cuma sebatas itu karena kami sibuk dengan dunia masing-masing. Saya dan dia punya lingkungan yang berbeda walaupun lingkaran pergaulan kami memiliki irisan yang cukup luas. Tapi selalu menyenangkan ketika kami bisa sekedar duduk sambil ngobrol di kampus. Nah, hari ini, saya menemukan sebuah sisi dari dirinya yang nggak pernah saya tau sebelumnya, malah nggak pernah saya duga akan dia miliki. Di balik segala ke-silly-annya, ke-childish-annya, dan ketengilannya, hari ini sebuah moment of truth menunjukkan kalau dia adalah seseorang yang memang pantas dikagumi. Kesederhanaannya dan ketulusannya membuat saya merasakan sesuatu yang lain, nggak seperti biasanya. He looked really mature and adorable when he told everything about his view of life, his priorities in life, and how he treats people around him. I was sort of surprised and also melted when he told some stories about his personal life. Saya tau, dia nggak bermaksud untuk meng-impress. Dia tetaplah dia, yang minderan dan santai. Tapi ada sesuatu dari dirinya yang ternyata sangat sangat luar biasa, dan semakin terlihat wonderful karena dikemas dengan sebuah kesederhanaan. Amazing.

It is too early to say that I am in love with him. Butuh lebih dari itu untuk membuat saya jatuh cinta pada seseorang. Tapi jujur, i do adore him. Dan entah kenapa, kekaguman ini membuat saya ingin melihat dia setiap hari, dan bahkan terus mendengarkan semua ceritanya setiap hari. Tentang dia dan hidupnya, termasuk tentang seorang gadis beruntung yang jadi salah satu orang terpenting dalam hidupnya dan penyakit kronis yang nggak bikin dia putus asa atau berhenti menjalankan hidupnya. Tentang istikharahnya sebelum memutuskan sesuatu, tentang kecintaannya terhadap keluarga, semua tentang dia yang sebelumnya nggak pernah saya duga akan ada dalam dirinya. Yang saya dengar selama ini adalah sesuatu yang jauh berbeda, segala hal yang negatif, semua yang saya ingin hindari dari seorang laki-laki. Tapi hari ini, lewat mata, telinga dan hati, he turned out to be someone whom I am really looking for.

Seseorang yang saya cari itu tentu saja, merupakan seseorang yang memenuhi gambaran ideal di mata saya. Dia harus shaleh, smart, fleksibel, membumi, dan punya fighting spirit yang tinggi. Karakter inilah yang saya akan sebutkan ketika orang lain bertanya, "Menurutlo seperti apa sih laki-laki yang ideal itu?" karena memang itu yang saya sebut ideal, yang saya inginkan, yang saya dambakan, yang saya look for. The man of my dreams. Orang yang saya impikan ada di samping saya, tapi belum tentu bisa saya miliki. Karena ada juga kategori kedua yang disebut the love of my life: orang yang ditakdirkan untuk menjadi lifetime partner saya. Dan belum tentu dia adalah orang yang saya impikan.

Tentang kategori kedua ini, sebenarnya saya masih belum berani untuk berkoar-koar. Karena rasanya sampai saat ini saya belum diyakinkan tentang keberadaan seseorang yang merupakan love of my life. Well, dia pasti sudah ada, entah di sekitar saya atau justru terpisah jarak ribuan mil dari saya. Entah sudah pernah saya temui sebelumnya atau a total stranger. Saya nggak akan mempermasalahkan itu, tetapi jujur, ada seseorang yang menurut saya mungkin akan mendekati kategori ini: seseorang yang pernah menjadi bagian dalam hidup saya. Awalnya saya kira dia adalah "the man of my dreams", tapi setelah saya makin mengenalnya, dia tidak memenuhi gambaran ideal itu. Flaws here and there, but he completed me. Dia memberikan saya satu hal penting yang mungkin nggak bisa diberikan "the man of my dreams": rasa nyaman. Ini yang mahal, yang belum tentu bisa dikalahkan oleh kriteria-kriteria tadi. Literally speaking, dia pernah saya miliki, and that is why he is no longer the man of my dreams.

Still vaguely described? Memang. Konsep kedua ini memang masih belum pasti bisa saya jelaskan dengan baik, tetapi at least saya bisa memberikan perbedaan di antara keduanya. Seperti Nate Archibald dalam Gossip Girl. Pasangan Nate bernama Blair Waldorf yang bersahabat dengan Serena Van Der Woodsen. Walaupun sudah bertaun-taun pacaran dengan Blair, he always has a thing to Serena eventhough he already found the love of his life. And Serena, the girl of his dreams, stays unreachable.. at least sampai episode 13 season 1 kemarin.. hehehehe.. ;P

Tapi masih ada pertanyaan yang tersisa. Apakah "the man of my dreams" can become "the love of my life"? Atau apakah sesuai namanya, "man of my dreams", so he only stays in my dreams? Masih perlu waktu untuk menjawab hal ini, mungkin karena saya belum menemukan sosok yang bisa buat saya yakin mengatakan, "He's the love of my life.". Mungkin misteri ini baru akan terpecahkan ketika seseorang yang ditakdirkan untuk saya itu, berada di samping saya untuk mengikuti kata-kata penghulu nanti. You know how happy I will be if he is "the man of my dreams". But if he isnt, I wont mind because sometimes reality is much better than a dream


...because sometimes, what you want is not what is best for you.

13 Februari 2008

GOT MATCHED BY MOM

Sepertinya sudah ratusan kali saya mendengar pernyataan "Sekarang bukan jamannya Siti Nurbaya lagi!" dalam beberapa taun terakhir. Nggak cuma dari orang-orang di lingkungan sekitar, tetapi juga dari media massa seperti tv. Saya adalah salah satu orang yang setuju dengan pernyataan itu. Menurut saya, berlebihan kalau sampai sekarang masih ada orang tua yang menjodohkan anaknya dengan orang yang mereka (orang tua) inginkan. Kalau anaknya juga suka sih itu lain soal. Nggak bakal ada cerita anak backstreet pacaran atau bahkan kawin lari. Tapi gimana kalau ternyata kandidat yang diajukan orang tua ini nggak cocok sama anaknya? Hmmm, it takes more than a while to find a way to solve the problem.



Sebenarnya masalah klasik ini udah lama nggak saya denger lagi. Tapi tiba-tiba seorang teman baik curhat tentang masalah ini. Saya nggak pernah nyangka kalau dia akan mengalami masalah sesulit ini. Karena setau saya, dia paling semangat kalau diajak ngomong tentang jodoh, nikah tepatnya. Di saat saya masih pusing mikirin judul skripsi, dia sudah memikirkan model gaun atau kebaya apa yang akan dia pakai di hari pernikahannya. Dan saya pikir, dia sudah punya banyak "calon kuat" untuk jadi bapak dari anak-anaknya nanti. Kadang-kadang saya nggak bisa nahan ketawa ketika ngobrol dengan dia karena selalu melihat kalimat "GUE NIKAH BESOK" di jidatnya yang tentu saja, hasil dari imajinasi saya yang berlebih.



Saya cukup tahu tentang usahanya (sebut saja X) mencari lifetime partner lewat obrolan dan jokes dengan teman-teman kampus kami. Berbagai cara yang halal dia jalankan (berdasarkan guidance orang-orang di sekitarnya tentunya hahaha), dan salah satu yang menurut saya menarik adalah set-up date dengan saudara/teman orang-orang itu. Adaaa saja cerita tentang pertemuannya dengan Mas ini atau Kak itu.. dan itu mampu membuat saya cengar-cengir sendiri, nggak sabar untuk tau akhir ceritanya.

Saya sendiri juga pernah jadi event organizer salah satu dari blind-date-nya. Waktu itu sepupu saya lagi patah hati ditinggal mantan calon istrinya karena beberapa hal. Dan di saat yang sama saya sedang dekat-dekatnya dengan si X ini. Naahhh, kebetulan! Kenapa nggak coba jadi mak comblang buat mereka berdua? Akhirnya dengan mengandalkan beberapa kebetulan (salah satunya ketika si X sedang berada di Jakarta dan sepupu saya off dari pekerjaannya) mereka bisa bertemu walaupun akhirnya kurang memuaskan buat teman saya. Tenang aja Jeng, kalau jodoh ga lari kemana.. hehehh.. ;D

Trus apa dong hubungannya dengan perjodohan? Nah, ini bagian yang nggak bisa bikin saya ketawa-ketawa lagi ketika ngobrol dengan X. Awalnya saya pikir akan baik-baik aja. Ibu si X mengenalkan dia dengan seorang laki-laki yang sudah cukup mapan, udah kerja dan punya rumah. Saya sempat melihatnya ketika dia menjemput teman saya di gym. Physically, jujur... nggak keliatan! Hahahah.. soalnya saya nggak lagi pake kacamata waktu itu. Dari segi pribadi (ini juga menurut X) sih sebenernya dia lumayan oke, tapi ada satu hal prinsipil yang jadi masalah: NGGAK KLIK. Nah lho.

Di sinilah letak masalahnya. Ketika X merasa nggak nyambung dengan laki-laki ini, ibu X justru berharap hubungan mereka bisa terus dilanjutkan, despite ketidakcocokan antara mereka. Bahkan dari cerita-cerita X ibunya terdengar seperti memaksa X untuk stick with him apapun yang terjadi. Yang ada si X kesal karena ibunya nggak mau mengerti perasaan X. Ujungnya ketebak, terjadi perang ibu-anak. Dan yang paling bikin hati saya miris, ibu X bilang, "Kamu tuh sombong banget, sok cantik. Hidup kamu tuh masih Mami yang nanggung! Tapi kamu nurutin apa kata Mami aja nggak mau!"

Saya benar-benar nggak nyangka. Saya pikir lovelife-nya memang cuma bahan becandaan teman-teman kampus dan nggak bakal seserius ini. Saya pikir emang dia yang udah ngebet punya suami. Ternyata orang tuanya (khususnya Maminya) yang selalu menekan dia untuk punya seseorang yang bisa dijadikan pegangan. Alasan ibunya adalah karena dia (dan suaminya) udah tua, dan ingin melihat anaknya punya pasangan yang bisa buat mereka tenang karena laki-laki ini bisa "menjamin" X. Okelah orang tua X memang udah kepala 6 dengan umur X-nya yang baru kepala 2 (kelahiran 1986), jadi memang termasuk tua kalau dibandingkan dengan umur orang tua teman-teman kami yang lain. Tapiiii, yang saya nggak ngerti adalah ibu si X ini selalu beralasan, "Alaaah kamu nggak usah mikirin perasaan, deh! Yang namanya cinta itu bisa datang dengan sendirinya, kalo terbiasa. Cinta itu bisa dipupuk. Mami sama Papi juga dulu gitu, tapi buktinya bertahan sampe sekarang, kan?" Setiap kali X mencoba menyampaikan ketidakcocokannya dengan laki-laki yang "ditawarkan" ibunya, tiap kali itu pula dia harus berdebat sampai menangis dengan ibunya.

Saya geleng-geleng kepala ketika mendengar cerita ini dari X. Saya nggak nyangka akan sampai segitunya. Meminjam salah satu line dari iklan, "Harrreee geeeeneeee?!" kenapa masih ada perjodohan old school seperti itu. Dan saya minta maaf kalau ini terdengar kurang sopan, kenapa sih ibu X harus balas dendam ke anaknya sendiri atas apa yang terjadi pada beliau di masa lalu? Kenapa anaknya harus nikah sama orang yang nggak harus dia sayang seperti dulu beliau menikah dengan suaminya (ayah X)? Bukannya lebih baik kalo X bisa menemukan orang yang dia sayang lantas menikah dengannya?

Saya memang nggak tau gimana masa depan X dan dia akan menikah dengan siapa, begitupun X sendiri dan ibunya. Bisa jadi si laki-laki ini memang destined to be her husband, bisa juga orang lain. Semuanya bisa terjadi, kalo Sang Khalik mau. Itu merupakan suatu hal yang mutlak dan nggak perlu diperdebatkan lagi. Tapi satu hal yang saya nggak bisa ngerti adalah seorang ibu yang memaksakan kehendaknya kepada anaknya dengan menyebut itu "ikhtiar" untuk mendapatkan jodoh buat anaknya. Buat saya, ikhtiar itu identik dengan hal-hal positif seperti belajar, bukan nyontek, untuk mendapat nilai bagus. Dan ikhtiar itu nggak seharusnya disebut-sebut sebagai alasan di tengah hubungan ibu-anak yang makin panas, yang nggak jarang membuat luka batin kedua belah pihak. Ikhtiar itu, menurut saya, harus dengan hati yang ikhlas. Pertanyaannya, gimana ikhtiar itu bisa dibilang maksimal ketika yang menjalankannya saja tidak ikhlas untuk berikhtiar?

Terus terang, saya nggak mau X jadi anak durhaka. Tapi dalam kasus seperti ini sebenarnya saya juga nggak tau apa batasan durhaka dan shalehah. Saya pengen si X ini bahagia, tapi terlalu picik kalau saya membela X karena saya nggak tau bagaimana perasaan ibu X sebenarnya. Satu sisi sudah pasti X sangat ingin membahagiakan orang tuanya, tapi di sisi lain dia harus membohongi perasaannya sendiri demi kebahagiaan orang tuanya itu. Nah lho nah lho.

Saya (I): Jadi karena itu selama ini lo selalu semangat nyari pacar? Karena nyokaplo pengen lo punya "pegangan"?
X : Iya. Tekanan, Ndah.
I : Buset, hidup dengan tekanan aja IP lo 4.
X : Iya, justru itu karena tekanan. Eh trus jadi gimana dong, niih? Gue mesti gimana lagi?
I : Yaaa gue juga bingung. Kalo gue jadi lo sih kayanya kepala gue pecah. Heheh tapi pecahnya kepala nggak menyelesaikan masalah, ya?
X : ..............
I : Satu sisi pengen banget kabur dari rumah, tapi gue mau kemana? Siapa yang mau ngasih gue makan? Tapi kalo di rumah gue mesti makan hati, ngikutin maunya nyokap yang sama aja menjarain diri gue sendiri. Duh, jadi pusing.
X : Tuh kaaan.. aduuh hidup gue kenapa begini amat, sih?
I : Yaelaaaahh, X.. masing-masing orang tuh cobaannya beda, tergantung kemampuan. Kalo elo dicoba gini ama Allah, berarti emang lo kuatnya di sini. Pasti ada jalan, ko.. cuma sekarang kita belum bisa liat, masih buta dan belum tau jalannya kaya gimana.
X : Iya sih, tapi gue nggak sabar, nih. Sampe kapan sih kaya gini terus? Gue nggak mau jadi anak durhaka, tapi setiap kali gue jalan sama tu cowok, gue ga tahan. Ga nyambuuuungg!! Itu kan hal yang paling mendasar.
I : Ya udah tebelin kuping aja lo denger nyokap ngoceh. Ato nggak, emmm.. gini deh.. lo ikutin aja kata nyokaplo dulu. Nggak usah didebat dulu, ikutin aja apa maunya.
X : Udah. Eeh waktu gue diem nyokap malah nyuruh gue sms si cowok ini duluan.
I : Waduh, ngelunjak.. trus lo pasti nggak mau deh?!
X : Ya iyalah.
I : Nyokap bilang apa?
X : Kamu tuh nggak pernah nurut sama Mami!!
I : ......................
X : Lho, emang selama ini aku mau jalan sama dia itu nurutin siapa? Demi kebahagian siapa?
I : (dalam hati: mampus deh gue, makin ribet aja ni masalah!)
X : Aduuuhhh gimana, dooongg..
I : Hiduplo bener-bener kaya sinetron, deh.. (nggak menyelesaikan masalah)
X : (makin cemberut kemudian berlalu)



PS: Untuk semua laki-laki shaleh, siap nikah lahir batin yang kira-kira bisa membeli hati temen gue sekaligus nyokapnya, tolong kabari gue ASAP, yah.. temen gue berjilbab, tinggi badan 170 sekian cm dengan berat badan proporsional, pintar sekali (langganan IP 4), shalehah, dan keibuan. Ini serius, lho!
Buat X : Gateeell banget pengen nyebut nama aslilo. Heheheh.. anyway, update terus ya, perkembangan ceritalo! Semoga semuanya berakhir seperti namalo (hint: bukan INDAH).. hahahaha.. ;D