13 September 2010

AYAH

Malam itu hujan deras. Aku dan orang tuaku dalam perjalanan menuju rumah kedua tante ayahku. Ayahku yatim piatu. Dari sedikit orang tua yang tersisa adalah kakak beradik ini. Namanya Hen dan Niek. Aku memanggilnya dengan embel-embel "Eyang". Mereka berdua tinggal satu atap dan tidak menikah.

Saat itu aku sedang kesal pada ayahku. Alasannya simpel, dia menolak keras kuajak nonton. Ada 2 film Indonesia yang ingin kutonton di bioskop. Ibu menanggapi ajakanku dengan semangat. Ayahku, seperti yang kubilang, menolak.

"Nggak. Ngapain nonton film melayu? Jelek."

"Ini filmnya bagus. Aku udah baca review dari orang-orang."

"Nggak! Tembak-tembakannya garing!" nada suara ayah meninggi.

"Gimana film Indonesia mau maju kalo warganya nggak mau nonton?" aku setengah berteriak.

"Ya biarin aja. Kan ada yang lain yang mau nonton. Papa nggak!"

"Ya udah! Aku nonton sendiri aja!"

"Sana. Papa mau main tenis!"

Aku mangkel dalam diamku. Meracau dalam hati. Ayah sedang menyebalkan! Apa salahnya sih, nonton film Indonesia yang sepertinya bagus, di waktu keluarga seperti libur lebaran ini? Toh it's been a while since the last time we went to the cinema together. Lagipula tiketnya juga murah, kok. Kenapa juga dia mesti ngata-ngatain film Indonesia, eh, Melayu (whatever!) jelek?! Apa ruginya sih, mengapresiasi hasil karya anak negeri? Kalau memang nggak mau nonton, biasa aja dong, ngomongnya!

Biasanya aku tak pernah ambil pusing kalau ayah tidak mau pergi ke bioskop. Toh biasanya aku juga nonton dengan teman-teman. Paling banyak sebulan sekali aku nonton dengan orang tuaku. Tapi saat itu aku sedang ingin nonton dengan mereka. I mean, it's holiday. It's family time. But my dad just blew me off!

Nampaknya ibu sudah paham dengan situasi seperti itu, mood suaminya sedang tidak bagus. Makanya dia diam saja. Kalau dia ikut berbicara, pasti persoalannya akan panjang.

***

Sebuah mobil Jazz silver terparkir di depan rumah Eyang Hen dan Eyang Niek.

"Wah itu Caca, ya?" tanya ibu ke ayah.

"Kayaknya." jawab ayah dengan tenang.

Caca adalah sepupu ayah. Ibu Caca dan eyang putri kakak beradik. Jadi, Oom Caca, begitu aku memanggilnya, juga keponakan Eyang Hen serta Eyang Niek.

Ketika aku masuk ke pekarangan rumah itu, aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Oom Caca, seorang suster, dan asisten rumah tangga eyang sedang menuntun Eyang Harefa, ayah Oom Caca. Usia Eyang Harefa sudah lanjut. Dia sakit. Mungkin stroke, aku juga kurang mengerti. Dia sudah sulit berjalan. Mungkin itu juga mengapa Oom Caca menyediakan suster untuk Eyang Harefa.

Eyang Harefa mengeluh sakit. Badannya gemetar. Oom Caca dan suster berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap berjalan. Eyang Harefa ragu, menurutnya dia tidak kuat. Kakinya sakit. Oom Caca pun mencoba menggendongnya, tapi dalam hitungan detik Eyang Harefa mengerang. Perutnya sakit, katanya. Oom Caca terlihat lelah, tapi dia tetap membantu ayahnya berjalan.

"Ayo Pa, Papa pasti bisa jalan. Mas jagain."

"Susah. Nggak kuat." keluh Eyang Harefa.

"Bisa Pa, pasti bisa. Ayo pelan-pelan."

Oom Caca, suster, dan mbak yang membantu Eyang Hen dan Eyang Niek memapah Eyang Harefa ke mobil. Saat itu gerimis, aku mengambil inisiatif memayungi mereka.

Perlahan-lahan Eyang Harefa mencoba berjalan. Beberapa kali kudengar dia mengaduh. Ekspresi wajahnya menggambarkan dia tidak kuat lagi. Dia lelah, ingin duduk. Tapi Oom Caca terus menuntunnya dan meyakinkan ayahnya untuk terus berjalan.

"Mas pegangin Pa, Mas jagain."

Lima belas menit dihabiskan Oom Caca untuk membawa ayahnya ke dalam mobil. Dari teras rumah Eyang Hen dan Eyang Niek yang hanya berjarak kurang lebih lima meter dengan mobil. Oom Caca pun masih harus mendudukkan ayahnya di dalam mobil dengan hati-hati karena nampaknya Eyang Harefa sangat mudah kesakitan.

Dalam lima belas menit itu pun aku membayangkan menjadi Oom Caca, dan Oom Harefa adalah ayah. Apakah aku juga akan seperti Oom Caca yang sabar membantu ayahnya berjalan? Atau aku akan freak out dan malah menganggapnya beban? (God forbid)

Tiba-tiba aku teringat masa kecilku. Ketika ayah mengajarkanku jalan. Ketika ayah menggendongku. Ketika ayah terbangun menemani ibu di malam hari karena aku menangis...

Dalam lima belas menit itu, aku teringat pertengkaranku dengan ayah setengah jam yang lalu.


12 September 2010

SOMEBODY ELSE BUT ME

Dua hari setelah lebaran, saya tidak menyangka akan ada peristiwa penusukan terhadap salah satu jemaat HKBP di Ciketing. Berdasarkan berita yang saya baca di Twitter, Panatua Sihombing ditusuk oleh seseorang dari sekelompok pengendara motor saat dia bersama rombongan gerejanya. Ada yang bilang ini terjadi karena masalah lahan yang digunakan oleh jemaah untuk beribadah, ada juga yang mengaitkan kejadian ini dengan konflik antarumat beragama. Apapun itu, menurut saya peristiwa ini tidak pantas terjadi. Siapapun yang melakukan teror dan berada di baliknya harus dihukum. Seberat-beratnya.

Ada hal menarik yang ingin saya ceritakan sehubungan dengan kejadian tersebut. Dikabarkan, korban membutuhkan donor darah dengan golongan O. Seorang prominent tweeter, Fahira Idris, men-tweet tentang donor bernama Indah Wardhani, seorang muslimah berkerudung, yang rela pergi ke RS Mitra Keluarga Bekasi Timur dengan angkutan kota untuk membantu korban. Melalui retweets followers-nya yang mencapai belasan ribu, tweet tersebut sampai ke timeline saya.

Beberapa pesan masuk melalui Blackberry Messenger. Sejumlah tweets menyebutkan ID Twitter saya menanyakan apakah Indah Wardhani yang dimaksud adalah saya. Saya pun hanya bisa tersenyum sambil mengklarifikasi bahwa itu bukan saya. Getir. Entah mengapa semua pertanyaan itu semakin terasa seperti tamparan keras. Because it could have been me.

Mungkin ini terkesan aneh. Tapi itulah yang saya rasakan. Kenapa bukan saya yang ada di sana? Kenapa bukan saya, Indah Wardhani, yang juga berkerudung dan bergolongan darah O, yang membantu Pak Sihombing? Padahal rumah sakit tempatnya dirawat cukup dekat. Saat itu, entah mengapa, saya merasa kalah. Telak.

10 September 2010

A YEAR AND A HALF AFTER...

Satu setengah tahun yang lalu Allah memberitahuku si mata jernih itu ada. Kemeja biru tua itu membuatnya stand out in the crowd. Gayanya yang kaku membuatku ingin tersenyum, tapi kutahan. Tidak, aku tak ingin dia tahu aku memperhatikannya.

Dia berdiri di samping H yang kukenal sejak seleksi tahap satu. Mereka tampak akrab. "Damn," umpatku. "Ke mana saja aku selama ini? Kenapa baru sekarang aku bertemu dengannya?" Aku menutup mata. Untungnya D terlalu asyik dengan ceritanya sehingga tak memperhatikan gelagatku yang lebih tertarik dengan objek lain di ruangan itu.

"Hei!" sapa H.

"Hai!" jawabku sambil tersenyum pada H. Tapi pikiranku tetap terpatri pada lelaki 180 cm di sebelahnya.

Dia tetap menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana. Oke, dia semakin menarik.

"Tes juga?" tanyanya.

Oh. Dia MAU ngomong juga.

Aku mengangguk. Mungkin dengan seulas senyum yang terlihat dipaksakan. Grogi, tau!

Diam. Dia bahkan tak bertanya siapa namaku. Tak pernah ada dalam kamusku mengajak laki2 yang kusuka berkenalan. NO FREAKIN' WAY.

H kembali berbicara dengannya. D sibuk dengan telepon selularnya. Aku? Berusaha untuk tidak tampak semakin tolol di depannya. Dan berharap tidak ada yang salah dengan apa yang kupakai hari itu.

***

Namanya A. Kami bertukar nomor telepon untuk saling mengabari tentang hasil seleksi ke-6 itu. Nyatanya sampai sekarang, satu setengah tahun kemudian, kami tidak pernah sekali pun berkomunikasi. Yang terakhir kudengar darinya adalah, "Gue nunggu taksi.". Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi karena dia akhirnya diterima di perusahaan itu dan aku gagal di seleksi terakhir. Nomor teleponnya pun sudah kuhapus dari telepon selular lamaku yang siap dijual. Lagipula, jika aku tetap menyimpannya pun tak akan membuat keadaan berubah. Jangan pikir aku akan mencoba menghubunginya.

Satu setengah tahun setelah kejadian itu, saat ini. Aku sedang menanti kepastian apakah aku akan maju ke tahap selanjutnya dari proses seleksi kerja di perusahaan yang sama dengan satu setengah tahun lalu. Aku tahu dia masih di sana lewat akun Facebook-nya. Tidak, aku tidak berteman dengannya. Aku menelusuri akunnya lewat akun D dan T. Dan seperti biasa, aku meng-Google-nya.

Aku sempat melupakannya. Menganggap dia tidak lebih dari seorang good-looking stranger. Bahkan aku tak pernah membayangkan menjadi seseorang yang spesial untuknya. Tapi saat ini, satu setengah tahun kemudian, dengan modal satu pertemuan singkat dan beberapa kalimat, aku berharap dialah takdirku. Yang akan kutemui di hari pertama, kedua, atau mungkin ketigaku di kantor baruku.

Well, we'll see.


"When will I see your face again,
When will you touch my life again,
When will I breathe you in again,
I think I love you, will I see your face again

You know that all my life I’ve been waiting,
Waiting for some, someone like you to love me,
You can’t come by like an angel, into my life,
And then fly away, fly away..."

(Jamie Scott and The Town - When Will I See Your Face Again)