18 Desember 2008

TENTANG MENANGIS

Entah kenapa, akhir-akhir ini saya merasa sangat mudah menangis. Padahal masa PMS sudah selesai, saya juga nggak merasa ada masalah berat yang saya simpan sendiri. Tapi kenapa yaa, kok sekarang sepertinya dicolek sedikit bisa langsung mewek?

Biasanya saya bukan orang yang gampang menangis. Saya memang nggak seperti beberapa teman perempuan saya yang bisa langsung menangis ketika menonton film yang sedih di bioskop. Film Ayat-Ayat Cinta, misalnya, bisa membuat mereka banjir air mata. Saya yang malah mesam-mesem sepanjang film dibilang nggak punya perasaan karena nggak ikutan nangis. Mereka nggak tau aja mata saya sering basah gara-gara Grey's Anatomy.. :P

Akan tetapi, menangis bukan merupakan hal yang cemen bagi saya. Kadang-kadang saya menangis ketika saya ingin. When I feel like crying. Buat saya, tangisan bisa membuat saya lega, walaupun mungkin nggak menyelesaikan masalah. Dengan menangis, paling tidak ada sedikit ganjalan yang terlepaskan, sehingga kemudian saya bisa tertidur karena mata saya terlalu lelah menangis.

Saya akui, saya memang cukup mellow. Saya suka lagu-lagu yang gloomy, lebih suka hujan daripada panas karena bisa ngelamun, dan selalu pengen jalan-jalan ke luar negeri ketika winter. Saya selalu mencatat quote yang menurut saya touchy dari setiap film yang saya tonton, dan terinspirasi karenanya. Saya menikmati deep talking sampai-sampai jadi keseringan colongan.. :P Tapiii, saya nggak pernah merasa se-carried away ini sampai tiap hari selalu mau nangis..

Ah, semoga saja karena pengaruh hujan. Atau hormon. Atau apapun lah, yang make sense. Anybody feels like figuring this out for me? :D

5 November 2008

DEATH BECOMES US

Semenjak mengerti arti kematian, saya percaya jika hal itu pasti terjadi, dan bisa terjadi bahkan pada saat yang tak terduga. Akan tetapi, sepertinya saya belum sepenuhnya menginsyafi jika kematian itu sangat dekat. Sebagai manusia biasa yang sangat jauh dari kata sempurna, saya sering sok tahu tentang takdir. Saya menganggap besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan tahun depan saya akan masih hidup. Saya sering kali menganggap hidup saya masih panjang dan perlahan-lahan menyingkirkan fakta bahwa saya bisa mati tahun depan, minggu depan, lusa, besok, bahkan sebelum saya menyelesaikan post ini. Sebelum tidur, saya lebih sering merasa saya pasti akan bangun lagi. Padahal, bisa saja tidur itu adalah awal dari sebuah tidur panjang menuju hari kebangkitan nanti.

Saya percaya suatu saat saya akan mati. Tapi entah mengapa saya masih saja berkata tidak baik kepada kedua orang tua saya, menyakiti hati orang-orang di sekitar saya, dan melakukan perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Saya merasa hidup saya masih panjang. Saya merasa saya akan masih punya kesempatan untuk meminta maaf dan bertaubat. Padahal saya tidak tahu tanggal pasti kematian saya, seperti Imam Samudra dan Amrozi yang sudah "dijadwalkan" kematiannya. Akan tetapi, lalu saya berpikir, apakah jika saya tahu kapan saya mati, lalu saya akan terus menerus bertaubat dan memohon maaf kepada semua orang? Apakah saya akan tahan duduk lama di atas sajadah dengan cucuran air mata yang tidak dibuat-buat? Apakah saya akan bisa tidak mengatakan "ah" kepada orang tua saya? Hm.. sulit. Karena menurut saya, tahan untuk berbuat baik itu sulit. Ada saja godaannya, dan intinya kembali pada pemikiran bahwa, "Ah kayanya gue masih hidup deh, besok." lantas memilih untuk melakukan hal-hal lain yang terasa lebih menyenangkan untuk saat itu.

Harapan untuk hidup lebih lama, keinginan untuk mewujudkan rencana dan optimisme menghadapi masa depan memang wajar dimiliki manusia, tapi sampai saat ini saya masih merasa kesulitan untuk terus mengingat mati ketika saya membuat semua rencana itu. Saya sering kali lebih memilih untuk terhanyut dengan masa depan yang sifatnya tentatif daripada berkonsentrasi pada kematian yang sifatnya pasti. Mungkin karena saya senang merasa memiliki kendali akan masa depan yang sementara. Mungkin karena saya memang belum siap mati. Karena saya masih ingin hidup lebih lama, dan diberikan kesempatan lebih banyak untuk melakukan semua hal yang saya inginkan, dan ingin Allah memberi saya waktu sampai saya merasa siap mati. Karena masa depan yang sementara, masa depan di dunia, terasa lebih indah jika dibayangkan, daripada membayangkan siksa kubur atau kesendirian ketika saya mati.

Akan tetapi, ketika saya mulai melupakan mati dan merasa diri ini seperti robot yang kehilangan jiwa, saya mengingat almarhum adik saya yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu. Ketika merunut semua yang terjadi padanya, saya merinding. Saya merasa maut sangat dekat, dan waktu saya sebagai manusia yang penuh dosa ini sangat singkat. Adik saya yang pergi secara tiba-tiba mungkin tidak menyadari bahwa hari itu, sore itu, adalah sore terakhir dia berpuasa tanpa pernah sempat berbuka. Adik saya mungkin tidak menyadari kalau sebuah truk cor yang menabraknyalah yang menjadi penyebab kematiannya. Yang pasti, adik saya tidak punya kendali atas semua itu (semoga Allah mengendalikan mulut dan hatinya untuk mengucap kalimat syahadat sebelum hembusan nafas terakhirnya, AMIN).

Mengingatnya membuat saya selalu menangis. Tapi saya tidak ingin menangisi kepergiannya, saya ingin tangisan ini menjadi tangisan penyesalan atas semua dosa yang telah saya perbuat. Saya ingin tangisan ini menjadi bagian dari taubatannasuha, bukan taubat sambel yang sifatnya angin-anginan. Saya ingin tangisan ini bisa menyelamatkan saya di hari akhir, bukan justru memberatkan adik saya. Saya ingin tangisan ini bisa menjadikan saya seperti adik saya, orang yang sangat patuh terhadap orang tua, orang yang begitu dicintai teman-temannya, orang yang diantarkan oleh rombongan pelayat yang sangat banyak, orang yang sampai detik ini masih dipuji, orang yang tidak pernah terlihat atau terdengar buruk, dan orang yang Insya Allah meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Saya ingin mati dalam keadaan baik seperti adik saya, apapun caranya karena pada akhirnya bukan cara seperti kecelakaan atau dibunuh yang membuat seseorang menjadi baik/buruk, tetapi keadaan pada kematiannya. Saya ingin merasa siap mati.

Lantas, sejauh mana saya sanggup mempersiapkan kematian? Sejauh mana kamu mempersiapkan kematian? Semoga kita semua termasuk orang yang akan mati dalam keadaan khusnul khatimah dan semoga kita terhindar dari segala sifat sombong. Amin ya rabbal 'alamin.

13 Agustus 2008

I WON'T HURRY LOVE

Akhir-akhir ini saya semakin sering mendengar keluhan teman-teman sesama jomblo. Keluhannya bervariasi, mulai dari masalah PMDK (Pdkt Mulu Dapet Kaga), pasaran yang turun, capek nungguin (dan mengejar) i-think-she/he-is-the-right-one, sampai yang berurusan dengan cowok orang (thank God I’m over this HAAHHAHAHA). Sebenarnya kurang tepat juga kalau mereka curhat ke saya, karena toh saya juga amatir di bidang cari pacar dan profesional di sektor jomblo. Tapi mungkin mereka butuh orang yang senasib sepenanggungan jadi mereka curhat ke saya.


Dari sekian banyak orang di list curhat itu sebagian besar ngebet pengen punya pacar dan berjuang ekstra keras untuk have one. Dari usaha halal (baca: target single) sampai yang nekat memancing di air keruh (baca: mepet pacar orang), tapi nggak dapet-dapet juga. Semua dilakukan karena udah bosen jadi jomblo, pengen nikah muda, dan kangen dengan perasaan jatuh cinta itu sendiri. Menurut saya memang understandable dan alamiah, sih.. apalagi saya juga single. Walaupun saya bukan tipe orang yang nggak bisa (atau biasa) sendiri, kadang-kadang saya juga bosen jadi jomblo. Bosen dengan perasaan yang flat-flat aja. Kan kata orang kalo jatuh cinta itu like butterflies in your stomach, ada sensasi menyenangkan yang nggak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Tapi bedanya, saya nggak mau terburu-buru merasakan sensasi aneh itu.. nggak mau buru-buru jatuh cinta. Saya mau menjalani semua proses dalam hidup saya secara natural. Dan saya memilih untuk sabar. Sabar karena saya memang tergolong perempuan konservatif yang malu bergerak sebelum orang yang saya suka move duluan; dan sabar karena saya tau hari itu akan datang tanpa kita kejar. Hari ketika saya dan lifetime partner saya merasa yakin bahwa we have found each other.

Kata seorang sahabat, patience alone is not enough. Tapi toh saya juga ikhtiar: bergaul dengan banyak orang dan berdoa. Bertemu banyak orang memungkinkan saya mengenal berbagai macam tipe orang dan memperbesar kemungkinan menemukan seseorang yang saya cari. Berdoa membuat saya merasa yakin akan dipertemukan oleh laki-laki yang terbaik untuk saya itu. Dan sepertinya, sampai saat ini saya merasa cukup, dan yakin dengan apa yang saya lakukan. Saya masih merasa nyaman dengan status jomblo dan nggak khawatir dengan masalah jodoh, walaupun waktu ideal menikah menurut saya tinggal 3 tahun lagi. Mungkin saya merasa seperti ini karena belum ketemu dengan seseorang yang klik itu (atau mungkin udah ketemu tapi masih belum yakin). Mungkin juga keinginan itu kalah dengan keinginan mengumpulkan uang untuk orang tua saya dan berkarir. Atau mungkin juga, karena saat ini saya lebih memilih waiting to be found instead of searching for.

Pada dasarnya sih memang kembali lagi ke masing-masing orang. Kebetulan aja saya memang tipe orang yang santai, nggak mau terburu-buru, dan sangat lurus dalam hal ini. Kalau orang lain terbiasa mengejar, it is definitely fine with me. Yang jelas kalau mereka curhat ke saya, ujung-ujungnya pasti saya suruh sabar. Karena itu yang saya lakukan. Emang sih kalau dari segi hasil belum keliatan.. hehehe.. tapi setidaknya saya merasa tenang. Nggak kaya sopir mikrolet yang seradak seruduk cari penumpang, begitu penumpangnya memilih mikrolet di belakang lantas sopir itu ngamuk. Yang ada kan deg-degan melulu.. heheheheh.. So just do what you believe in, people. If it does not work, be patient. If it still doesn’t, putar haluaaaaannn! Hahahhahahaa.. ah, you know yourself better than me.

Sebagai penutup, saya jadi ingat sebuah percakapan di film My Blueberry Nights, salah satu film yang menurut saya memiliki lines yang cukup nampol dan jadi referensi post ini:


Katya: Sometimes, even if you have the keys those doors still can't be opened. Can they?
Jeremy: Even if the door is open, the person you're looking for may not be there, Katya.

Then you decide, friends. :)