5 November 2008

DEATH BECOMES US

Semenjak mengerti arti kematian, saya percaya jika hal itu pasti terjadi, dan bisa terjadi bahkan pada saat yang tak terduga. Akan tetapi, sepertinya saya belum sepenuhnya menginsyafi jika kematian itu sangat dekat. Sebagai manusia biasa yang sangat jauh dari kata sempurna, saya sering sok tahu tentang takdir. Saya menganggap besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan tahun depan saya akan masih hidup. Saya sering kali menganggap hidup saya masih panjang dan perlahan-lahan menyingkirkan fakta bahwa saya bisa mati tahun depan, minggu depan, lusa, besok, bahkan sebelum saya menyelesaikan post ini. Sebelum tidur, saya lebih sering merasa saya pasti akan bangun lagi. Padahal, bisa saja tidur itu adalah awal dari sebuah tidur panjang menuju hari kebangkitan nanti.

Saya percaya suatu saat saya akan mati. Tapi entah mengapa saya masih saja berkata tidak baik kepada kedua orang tua saya, menyakiti hati orang-orang di sekitar saya, dan melakukan perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Saya merasa hidup saya masih panjang. Saya merasa saya akan masih punya kesempatan untuk meminta maaf dan bertaubat. Padahal saya tidak tahu tanggal pasti kematian saya, seperti Imam Samudra dan Amrozi yang sudah "dijadwalkan" kematiannya. Akan tetapi, lalu saya berpikir, apakah jika saya tahu kapan saya mati, lalu saya akan terus menerus bertaubat dan memohon maaf kepada semua orang? Apakah saya akan tahan duduk lama di atas sajadah dengan cucuran air mata yang tidak dibuat-buat? Apakah saya akan bisa tidak mengatakan "ah" kepada orang tua saya? Hm.. sulit. Karena menurut saya, tahan untuk berbuat baik itu sulit. Ada saja godaannya, dan intinya kembali pada pemikiran bahwa, "Ah kayanya gue masih hidup deh, besok." lantas memilih untuk melakukan hal-hal lain yang terasa lebih menyenangkan untuk saat itu.

Harapan untuk hidup lebih lama, keinginan untuk mewujudkan rencana dan optimisme menghadapi masa depan memang wajar dimiliki manusia, tapi sampai saat ini saya masih merasa kesulitan untuk terus mengingat mati ketika saya membuat semua rencana itu. Saya sering kali lebih memilih untuk terhanyut dengan masa depan yang sifatnya tentatif daripada berkonsentrasi pada kematian yang sifatnya pasti. Mungkin karena saya senang merasa memiliki kendali akan masa depan yang sementara. Mungkin karena saya memang belum siap mati. Karena saya masih ingin hidup lebih lama, dan diberikan kesempatan lebih banyak untuk melakukan semua hal yang saya inginkan, dan ingin Allah memberi saya waktu sampai saya merasa siap mati. Karena masa depan yang sementara, masa depan di dunia, terasa lebih indah jika dibayangkan, daripada membayangkan siksa kubur atau kesendirian ketika saya mati.

Akan tetapi, ketika saya mulai melupakan mati dan merasa diri ini seperti robot yang kehilangan jiwa, saya mengingat almarhum adik saya yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu. Ketika merunut semua yang terjadi padanya, saya merinding. Saya merasa maut sangat dekat, dan waktu saya sebagai manusia yang penuh dosa ini sangat singkat. Adik saya yang pergi secara tiba-tiba mungkin tidak menyadari bahwa hari itu, sore itu, adalah sore terakhir dia berpuasa tanpa pernah sempat berbuka. Adik saya mungkin tidak menyadari kalau sebuah truk cor yang menabraknyalah yang menjadi penyebab kematiannya. Yang pasti, adik saya tidak punya kendali atas semua itu (semoga Allah mengendalikan mulut dan hatinya untuk mengucap kalimat syahadat sebelum hembusan nafas terakhirnya, AMIN).

Mengingatnya membuat saya selalu menangis. Tapi saya tidak ingin menangisi kepergiannya, saya ingin tangisan ini menjadi tangisan penyesalan atas semua dosa yang telah saya perbuat. Saya ingin tangisan ini menjadi bagian dari taubatannasuha, bukan taubat sambel yang sifatnya angin-anginan. Saya ingin tangisan ini bisa menyelamatkan saya di hari akhir, bukan justru memberatkan adik saya. Saya ingin tangisan ini bisa menjadikan saya seperti adik saya, orang yang sangat patuh terhadap orang tua, orang yang begitu dicintai teman-temannya, orang yang diantarkan oleh rombongan pelayat yang sangat banyak, orang yang sampai detik ini masih dipuji, orang yang tidak pernah terlihat atau terdengar buruk, dan orang yang Insya Allah meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Saya ingin mati dalam keadaan baik seperti adik saya, apapun caranya karena pada akhirnya bukan cara seperti kecelakaan atau dibunuh yang membuat seseorang menjadi baik/buruk, tetapi keadaan pada kematiannya. Saya ingin merasa siap mati.

Lantas, sejauh mana saya sanggup mempersiapkan kematian? Sejauh mana kamu mempersiapkan kematian? Semoga kita semua termasuk orang yang akan mati dalam keadaan khusnul khatimah dan semoga kita terhindar dari segala sifat sombong. Amin ya rabbal 'alamin.

13 Agustus 2008

I WON'T HURRY LOVE

Akhir-akhir ini saya semakin sering mendengar keluhan teman-teman sesama jomblo. Keluhannya bervariasi, mulai dari masalah PMDK (Pdkt Mulu Dapet Kaga), pasaran yang turun, capek nungguin (dan mengejar) i-think-she/he-is-the-right-one, sampai yang berurusan dengan cowok orang (thank God I’m over this HAAHHAHAHA). Sebenarnya kurang tepat juga kalau mereka curhat ke saya, karena toh saya juga amatir di bidang cari pacar dan profesional di sektor jomblo. Tapi mungkin mereka butuh orang yang senasib sepenanggungan jadi mereka curhat ke saya.


Dari sekian banyak orang di list curhat itu sebagian besar ngebet pengen punya pacar dan berjuang ekstra keras untuk have one. Dari usaha halal (baca: target single) sampai yang nekat memancing di air keruh (baca: mepet pacar orang), tapi nggak dapet-dapet juga. Semua dilakukan karena udah bosen jadi jomblo, pengen nikah muda, dan kangen dengan perasaan jatuh cinta itu sendiri. Menurut saya memang understandable dan alamiah, sih.. apalagi saya juga single. Walaupun saya bukan tipe orang yang nggak bisa (atau biasa) sendiri, kadang-kadang saya juga bosen jadi jomblo. Bosen dengan perasaan yang flat-flat aja. Kan kata orang kalo jatuh cinta itu like butterflies in your stomach, ada sensasi menyenangkan yang nggak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. Tapi bedanya, saya nggak mau terburu-buru merasakan sensasi aneh itu.. nggak mau buru-buru jatuh cinta. Saya mau menjalani semua proses dalam hidup saya secara natural. Dan saya memilih untuk sabar. Sabar karena saya memang tergolong perempuan konservatif yang malu bergerak sebelum orang yang saya suka move duluan; dan sabar karena saya tau hari itu akan datang tanpa kita kejar. Hari ketika saya dan lifetime partner saya merasa yakin bahwa we have found each other.

Kata seorang sahabat, patience alone is not enough. Tapi toh saya juga ikhtiar: bergaul dengan banyak orang dan berdoa. Bertemu banyak orang memungkinkan saya mengenal berbagai macam tipe orang dan memperbesar kemungkinan menemukan seseorang yang saya cari. Berdoa membuat saya merasa yakin akan dipertemukan oleh laki-laki yang terbaik untuk saya itu. Dan sepertinya, sampai saat ini saya merasa cukup, dan yakin dengan apa yang saya lakukan. Saya masih merasa nyaman dengan status jomblo dan nggak khawatir dengan masalah jodoh, walaupun waktu ideal menikah menurut saya tinggal 3 tahun lagi. Mungkin saya merasa seperti ini karena belum ketemu dengan seseorang yang klik itu (atau mungkin udah ketemu tapi masih belum yakin). Mungkin juga keinginan itu kalah dengan keinginan mengumpulkan uang untuk orang tua saya dan berkarir. Atau mungkin juga, karena saat ini saya lebih memilih waiting to be found instead of searching for.

Pada dasarnya sih memang kembali lagi ke masing-masing orang. Kebetulan aja saya memang tipe orang yang santai, nggak mau terburu-buru, dan sangat lurus dalam hal ini. Kalau orang lain terbiasa mengejar, it is definitely fine with me. Yang jelas kalau mereka curhat ke saya, ujung-ujungnya pasti saya suruh sabar. Karena itu yang saya lakukan. Emang sih kalau dari segi hasil belum keliatan.. hehehe.. tapi setidaknya saya merasa tenang. Nggak kaya sopir mikrolet yang seradak seruduk cari penumpang, begitu penumpangnya memilih mikrolet di belakang lantas sopir itu ngamuk. Yang ada kan deg-degan melulu.. heheheheh.. So just do what you believe in, people. If it does not work, be patient. If it still doesn’t, putar haluaaaaannn! Hahahhahahaa.. ah, you know yourself better than me.

Sebagai penutup, saya jadi ingat sebuah percakapan di film My Blueberry Nights, salah satu film yang menurut saya memiliki lines yang cukup nampol dan jadi referensi post ini:


Katya: Sometimes, even if you have the keys those doors still can't be opened. Can they?
Jeremy: Even if the door is open, the person you're looking for may not be there, Katya.

Then you decide, friends. :)

1 Agustus 2008

THE BIRTHDAY BACHELOR (ETTE)

Bagi saya, ulang tahun merupakan momen yang spesial. Spesial karena di hari itu saya diberikan kesempatan untuk menjadi orang penting, walaupun cuma sehari.. hehehehe… (This is a good example of self-love, but believe me, this is also a part of self-esteem. Even wikipedia redirected self-love to self-esteem. HAHA). Paling tidak, momen itu juga menjadi salah satu alasan mengapa saya setuju dengan Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow tentang pentingnya esteem.

Akan tetapi, standar keistimewaan hari ulang tahun berbeda-beda di setiap tahunnya, walaupun intinya tetap sama: jadi orang penting. Waktu SD misalnya, saya senang kalau seluruh keluarga besar datang ke rumah dan membawa black forest enak. Apalagi kalau ibu saya menyediakan makanan yang tak kalah lezatnya untuk dinikmati bersama. Kado-kado yang saya terima juga menjadi pelengkap kebahagiaan di hari ulang tahun itu. Lebaran pun kalah hebohnya dibandingkan hari ulang tahun. Tetapi ketika SMP dan mulai ganjen (baca: kenal cowok dan pacaran), menjelang ulang tahun saya senang menebak-nebak kado apa yang akan pacar saya berikan. Menraktir teman-teman pun mulai menjadi kewajiban di masa ini. Biasanya ada proses barter yang dilakukan, saya menraktir mereka, dan mereka memberikan kado kepada saya. Hehehe sama aja boong, ya? Tapi toh nggak masalah, namanya juga simbiosis mutualisme.

SMA menjadi masa di mana hari ulang tahun semakin heboh dan semakin spesial buat saya. Heboh karena orang yang berulang tahun akan diguyur, diceplokin, diceburin, dan di- di- lainnya yang intinya penyiksaan buat the birthday person. Udah dikerjain, minta ditraktir makan-makan pula! Walaupun kelihatannya merugikan, tetap saja spesial. Apalagi ketika sweet seventeen, ulang tahun seakan-akan menjadi lomba adu gengsi; tiap orang (biasanya perempuan, termasuk saya hahaha) memilih kafe atau restoran paling hip supaya ulang tahunnya berkesan. Di periode ini saya juga mulai mengenal yang namanya first cake.. heheheheheh.. kado ulang tahun dari pacar pun semakin saya tunggu selain sms/telepon jam 00.00 pada hari-H. Intinya, ngarep pol-polan.

Setelah resmi menjadi mahasiswa, ukuran spesial itu mengalami perubahan lagi. Ketika punya pacar, pasti ada acara dinner berdua. Kado dari pacar biasanya selalu dilengkapi sebuket atau setangkai bunga (ini sih emang gue aja yang demen bunga! untung mantan pengertian! ;P) dan kartu ucapan berisi kata-kata romantis yang mendekati dangdut, tapi tetap saja terasa sweet. Pesta kecil di rumah dengan mengundang sepupu, oom dan tante sudah bukan menjadi suatu keharusan. Yang penting teman-teman. Traktir pun bisa di mana saja, nggak perlu lagi di kafe atau restoran dengan undangan khusus seperti ketika umur 17. Mahasiswa lebih fleksibel, di mana aja yang penting gratis. Tapi kalau bisa sih tetap yang mahalan dikit. Hehehe.. o iya, pada masa ini ada kesenangan tersendiri kalau banyak teman yang mengucapkan selamat ulang tahun lewat sms, Friendster dan Facebook. Kata teman saya, seberapa populernya seseorang dapat diukur dari situ. Menurut saya sih nggak segitunya, tapi memang senang melihat rangkaian birthday wishes di inbox dan account saya.

Selama ini, inti dari ulang tahun adalah senang-senang. Hari itu saya nggak mau sedih atau pusing, walau sedikitpun. Memang sih tidak ada yang sempurna, seperti teman baik yang melupakan hari ulang tahun, menurunnya jumlah ang pau yang diterima (HAHAHAH) atau pacar yang terlambat mengucapkan selamat (baca: keduluan orang lain). Atau malah nggak ada pacar sama sekali, bawaannya jadi membandingkan dengan tahun sebelumnya (mungkin ini terdengar shallow, tapi memang terasa ada yang kurang, ko..;)).

Nah, bagi saya, tahun ini momen ulang tahun menjadi sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dibilang spesial, sangat spesial karena 29 Juli tahun ini merupakan H-2 sidang skripsi saya. Dibilang tidak spesial karena kehebohan hari ulang tahun jadi berkurang kadarnya karena saya repot mempersiapkan diri untuk menghadapi pembantaian pada saat sidang skripsi. Intinya sih memang perasaan yang campur aduk, malah deg-degan sidang skripsinya yang cenderung dominan. Di hari itu saya merasa skripsi saya sangat jauh dari kata maksimal setelah berulang kali membacanya. Di hari itu saya cuma mengharapkan sebuah kado istimewa yang akan datang terlambat, yaitu gelar kesarjanaan pada 31 Juli. Sebuah kado yang abstrak, nggak bisa saya pegang tetapi juga nggak akan layu seperti mawar putih, yang akan terus berbekas, dan terbukti nyata.

Dan akhirnya, Alhamdulillah. Kado itu datang dengan bingkisan yang sempurna. Dengan hanya revisi teknis berupa peletakan nomor halaman, penjudulan tabel dan gambar, serta kata-kata dalam bahasa Inggris dalam kata pengantar yang mesti dihilangkan, saya menjadi sarjana komunikasi pada H-2 ulang tahun saya. Walaupun IPK tidak sesempurna si jenius ini, saya tetap menganggapnya sebagai sebuah hadiah ulang tahun yang paling sempurna… sejauh ini.

That day, I did not need flowers or boyfriend either. That day, I got best friends and two delicious birthday cakes. That day, I thought I was born again on the 31st of July.