1 Agustus 2008

THE BIRTHDAY BACHELOR (ETTE)

Bagi saya, ulang tahun merupakan momen yang spesial. Spesial karena di hari itu saya diberikan kesempatan untuk menjadi orang penting, walaupun cuma sehari.. hehehehe… (This is a good example of self-love, but believe me, this is also a part of self-esteem. Even wikipedia redirected self-love to self-esteem. HAHA). Paling tidak, momen itu juga menjadi salah satu alasan mengapa saya setuju dengan Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow tentang pentingnya esteem.

Akan tetapi, standar keistimewaan hari ulang tahun berbeda-beda di setiap tahunnya, walaupun intinya tetap sama: jadi orang penting. Waktu SD misalnya, saya senang kalau seluruh keluarga besar datang ke rumah dan membawa black forest enak. Apalagi kalau ibu saya menyediakan makanan yang tak kalah lezatnya untuk dinikmati bersama. Kado-kado yang saya terima juga menjadi pelengkap kebahagiaan di hari ulang tahun itu. Lebaran pun kalah hebohnya dibandingkan hari ulang tahun. Tetapi ketika SMP dan mulai ganjen (baca: kenal cowok dan pacaran), menjelang ulang tahun saya senang menebak-nebak kado apa yang akan pacar saya berikan. Menraktir teman-teman pun mulai menjadi kewajiban di masa ini. Biasanya ada proses barter yang dilakukan, saya menraktir mereka, dan mereka memberikan kado kepada saya. Hehehe sama aja boong, ya? Tapi toh nggak masalah, namanya juga simbiosis mutualisme.

SMA menjadi masa di mana hari ulang tahun semakin heboh dan semakin spesial buat saya. Heboh karena orang yang berulang tahun akan diguyur, diceplokin, diceburin, dan di- di- lainnya yang intinya penyiksaan buat the birthday person. Udah dikerjain, minta ditraktir makan-makan pula! Walaupun kelihatannya merugikan, tetap saja spesial. Apalagi ketika sweet seventeen, ulang tahun seakan-akan menjadi lomba adu gengsi; tiap orang (biasanya perempuan, termasuk saya hahaha) memilih kafe atau restoran paling hip supaya ulang tahunnya berkesan. Di periode ini saya juga mulai mengenal yang namanya first cake.. heheheheheh.. kado ulang tahun dari pacar pun semakin saya tunggu selain sms/telepon jam 00.00 pada hari-H. Intinya, ngarep pol-polan.

Setelah resmi menjadi mahasiswa, ukuran spesial itu mengalami perubahan lagi. Ketika punya pacar, pasti ada acara dinner berdua. Kado dari pacar biasanya selalu dilengkapi sebuket atau setangkai bunga (ini sih emang gue aja yang demen bunga! untung mantan pengertian! ;P) dan kartu ucapan berisi kata-kata romantis yang mendekati dangdut, tapi tetap saja terasa sweet. Pesta kecil di rumah dengan mengundang sepupu, oom dan tante sudah bukan menjadi suatu keharusan. Yang penting teman-teman. Traktir pun bisa di mana saja, nggak perlu lagi di kafe atau restoran dengan undangan khusus seperti ketika umur 17. Mahasiswa lebih fleksibel, di mana aja yang penting gratis. Tapi kalau bisa sih tetap yang mahalan dikit. Hehehe.. o iya, pada masa ini ada kesenangan tersendiri kalau banyak teman yang mengucapkan selamat ulang tahun lewat sms, Friendster dan Facebook. Kata teman saya, seberapa populernya seseorang dapat diukur dari situ. Menurut saya sih nggak segitunya, tapi memang senang melihat rangkaian birthday wishes di inbox dan account saya.

Selama ini, inti dari ulang tahun adalah senang-senang. Hari itu saya nggak mau sedih atau pusing, walau sedikitpun. Memang sih tidak ada yang sempurna, seperti teman baik yang melupakan hari ulang tahun, menurunnya jumlah ang pau yang diterima (HAHAHAH) atau pacar yang terlambat mengucapkan selamat (baca: keduluan orang lain). Atau malah nggak ada pacar sama sekali, bawaannya jadi membandingkan dengan tahun sebelumnya (mungkin ini terdengar shallow, tapi memang terasa ada yang kurang, ko..;)).

Nah, bagi saya, tahun ini momen ulang tahun menjadi sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dibilang spesial, sangat spesial karena 29 Juli tahun ini merupakan H-2 sidang skripsi saya. Dibilang tidak spesial karena kehebohan hari ulang tahun jadi berkurang kadarnya karena saya repot mempersiapkan diri untuk menghadapi pembantaian pada saat sidang skripsi. Intinya sih memang perasaan yang campur aduk, malah deg-degan sidang skripsinya yang cenderung dominan. Di hari itu saya merasa skripsi saya sangat jauh dari kata maksimal setelah berulang kali membacanya. Di hari itu saya cuma mengharapkan sebuah kado istimewa yang akan datang terlambat, yaitu gelar kesarjanaan pada 31 Juli. Sebuah kado yang abstrak, nggak bisa saya pegang tetapi juga nggak akan layu seperti mawar putih, yang akan terus berbekas, dan terbukti nyata.

Dan akhirnya, Alhamdulillah. Kado itu datang dengan bingkisan yang sempurna. Dengan hanya revisi teknis berupa peletakan nomor halaman, penjudulan tabel dan gambar, serta kata-kata dalam bahasa Inggris dalam kata pengantar yang mesti dihilangkan, saya menjadi sarjana komunikasi pada H-2 ulang tahun saya. Walaupun IPK tidak sesempurna si jenius ini, saya tetap menganggapnya sebagai sebuah hadiah ulang tahun yang paling sempurna… sejauh ini.

That day, I did not need flowers or boyfriend either. That day, I got best friends and two delicious birthday cakes. That day, I thought I was born again on the 31st of July.

25 Juli 2008

NOT RIGHT AND NOT OKAY

Saya nggak pernah menyangka akan dekat dengan dia. Boro-boro, memuji dia dalam hati aja nggak pernah. Okelah saya tau dia punya banyak kelebihan, tapi saya nggak suka the way he dresses, the way he talks, and the way he behaves (walaupun cukup banyak cewek yang suka dengannya -- dan sepertinya dia nyadar! Saya benci itu!). Tapi saya nggak pernah menyatakan ketidaksukaan saya tentang apa yang disukainya. Saya tetap respek padanya, toh saya nggak perlu menyukai apa yang dia suka dan membenci apa yang dia benci. Itu kan tentang selera, cara dan gaya hidup, jadi bebas-bebas aja.

Saya juga jarang ngobrol dengan dia. Menurut saya nggak perlu. Dan memang jarang ada kesempatan yang memaksa kami berdua ngobrol. Menurut saya dia dingin. Walaupun akhirnya saya tau dia sama sekali nggak dingin, malah sangat friendly dan warm. Dan saya bisa dibilang nyaman nggak nyaman dengan keadaan itu.

Mungkin saya gr, atau dia memang jago flirting. Yang jelas, saya nyaman ketika ngobrol dengan dia karena ternyata kami berdua nyambung. Bahkan bisa dibilang banyak persamaan yang kami miliki. Tapi semua kenyamanan itu seakan-akan jadi sesuatu yang berbahaya buat saya ketika saya mengingat satu hal: he is already taken (not married yet, but already in a relationship).
Dan ketika saya mencoba menjauh, sepertinya dia ngeh akan hal itu. Dia pun ikut menjauh. Entah sudah berapa minggu ini terjadi. Nggak ada lagi jokes garing yang membuat saya senyum-senyum sendiri dan nggak ada lagi cerita-ceritanya yang bikin saya semangat dan termotivasi.

Jujur, saya kangen. Dan setiap perasaan itu timbul, saya harus menampar diri saya sendiri to keep my feet on the ground. Saya nggak mau terlibat lebih jauh dalam hubungan orang lain, apalagi jadi pengganggu. OGAH. Sialnya, saya kangen dia.

Oh God I REALLY hate this.

"LEO : Remove your ego from the situation and let yourself be vulnerable and honest today."


PS: I dont believe in horoscope. I read it just for fun. And right after I posted this, I checked my Friendster account and found the sentence above. I still dont believe it, but think it was pretty impressive to end this post.

5 Juli 2008

A DAY OF UNFORTUNATE EVENTS

Tadinya post ini akan saya beri judul "Near-Death Experience" mengingat siang itu saya hampir mengalami sebuah kecelakaan. Tetapi setelah hari itu berakhir, saya jadi pengen mengganti judulnya yang menjadi terasa kurang penting. Sampai saya menulis akhir paragraf ini, i still have no idea. Let's see if i can find one by the time i finish this. :)

Hari itu adalah Jumat kemarin, 4 Juli. Tanggal yang bersejarah buat orang Amerika dan akhirnya juga menjadi sejarah buat saya. Diawali dengan begadang dua malam sebelumnya karena bab 4 yang nggak selesai-selesai, pagi itu saya masih menambah halaman yang menurut saya masih jauh dari kata "wajar" untuk sebuah bab tentang pembahasan masalah skripsi kualitatif. Sh*t, masih kurang tebel! Spasinya nggak bisa ditambah apa, ya? Kalo nggak hurufnya ganti Indian Poker aja, deh.. Saya berkata pada diri sendiri. Sebagai seorang procrastinator sejati, saya masih aja membuang-buang waktu dengan memikirkan sesuatu yang nggak penting.. dan nggak bisa nambah halaman di bab 4. Padahal rencananya jam 9 pagi saya harus sudah berangkat ke Jatibening, nyegat Primajasa arah Garut atau Tasik, untuk sampai ke Jatinangor sebelum shalat Jumat. Tapi jam sudah menunjuk ke angka 5. Saya masih harus menganalisis beberapa subbagian. Aaaaaaaaarrrgggghhhhhhh!! Jadi nyesel karna masih aja menunda dengan alasan "meremin mata" di atas tempat tidur beberapa jam sebelumnya.. kalo nggak kan udah tinggal nge-print! But as the old saying goes, "Penyesalan selalu datang terlambat", semakin percuma kalo saya tetap menyesal dan memarahi diri sendiri. Malah nggak selesai itu bab. Akhirnya saya ngebut, copy paste dari sumber-sumber yang bisa di-copy paste untuk sementara waktu (hey, i'm an honest cheater!) demi bisa ngejar waktu.. dan zap! Jam 10 saya baru selesai. Belum mandi. Mama teriak-teriak nyuruh makan mie rebus yang udah lurus kaya rambut hasil catokan karena kelamaan dicuekin. Dan oh God, belum nyetrika baju dan kerudung (close friends know this weird "nggak-bisa-pergi-sebelum-nyetrika" thingy). AAAARGHHHHHHHH.

Saat itu satu jam terasa seperti 10 menit (oke, saya lebay.). Tau-tau udah jam 11 lewat 10. Tinggal masang jarum pentul di kerudungan, lalu berangkat. Di tengah sedikit kelegaan itu, Aryo si adik semata wayang teriak, "Gue belom isi bensin, lho!!" @*$%*$!&$(!

"Udah deehhh, isi bensinnya ntar aja abis nganterin gue!" saya mencoba positive thinking dan menghilangkan kemungkinan dorong motor di tengah jalan.

"Kalo mogok gue nggak nanggung lho, ya!!" dia sedikit marah. Dan khawatir. Khawatir motornya keburu dehidrasi dan dia repot dorong motor sampai pom bensin. Khawatir saya malah ngacir dengan motor tukang ojek di tengah-tengah kerepotannya itu.

"Udee, bismillah aje." jawab saya sambil naik ke boncengan.

Alhamdulillah, sampai Jatibening busnya belum ada. Ah, at least saya nggak perlu keringetan dorong motor. Heheheh.. dan dalam beberapa menit si bus datang juga. Primajasa Jakarta-Garut, yang menurut saya lebih resik dan wangi daripada Jakarta-Tasik (no offense). Alhamdulillah. Tapi ko penuh, ya? Karena aa' kondekturnya nggak jawab waktu saya nanya "A', penuh ya?" lalu langsung nyuruh masuk, saya pikir masih ada tempat duduk. Alhamdulillah. Tapi ketika naik tangga bus, pak sopir menggelar koran lalu mengatakan, "sini Neng." &!(&))*)@*)&@#*@#(!@)( Perasaan saya makin nggak enak. Tapi ya udahlah, daripada tambah lama nunggu akhirnya saya duduk di sebelah persneling, di depan kaki orang, di atas koran yang digelar pak sopir. Alhamdulillah, daripada berdiri...

Ketika sedang asik berharap bus akan ngebut dan bisa sampai ke Jatinangor dalam 1 1/2 jam, sebuah benturan keras datang dari arah kiri. Lalu teriakan panik dan pasrah mulai dari "Aaaaaaaaaaaaaaaaa" sampai "Allahu Akbar" terdengar. Saat saya masih loading, benturan kembali terdengar, kali ini dari arah kanan. Benturan yang lebih mirip goresan panjang yang bunyinya bikin ngilu. Goresan dari marka jalan beton yang membuat bus oleng dan saya bengong. Nggak tau mesti ngapain. Ya Allah!! Pak sopir sibuk mengendalikan kemudi. Saya semakin merasa bego.

Beberapa detik kemudian, saya masih melongo, tapi bus udah nggak oleng. Orang-orang juga udah nggak ada yang teriak, cuma menghela nafas dan ngomong sana sini. Sumpah saya saat itu masih bengong. Masih nggak percaya dengan apa yang baru saja saya alami. Kalau aja bus saat itu dalam kecepatan tinggi, kalau aja bus itu nggak bisa dikendalikan lagi, saya pasti ..... Ya Allah, i was really close to death. Jantung saya serasa berhenti berdetak.

Lalu kondektur, sopir dan beberapa penumpang laki-laki berhamburan turun dari bus. Bus Primajasa lain yang kebetulan berada tak jauh dari bus saya juga berhenti. Kondektur dan sopirnya keluar. Mobil yang menyebabkan benturan keras pertama berada di belakang bus, saya belum tau apa yang sebenarnya terjadi. Saya masih mencerna semuanya. Dan tiba-tiba pengen nangis, nangis karena merasa lega. Lega karena belum dipertemukan dengan kematian yang belum siap saya hadapi. Apalagi di waktu saya dalam perjalanan mengusahakan kesarjanaan saya itu... ah. Rasanya berantakan banget. Saya nggak bisa mendeskripsikan di sini. Mudah-mudahan aja teman-teman yang baca ngerti...

Sampai saya naik ojek setelah turun di Cileunyi, saya masih memikirkan kejadian itu. Bagaimana bunyi benturan yang sepertinya masih terdengar di kuping saya, bagaimana ekspresi muka kondektur dan sopir bus, bagaimana suara-suara penumpang yang bikin saya merinding, dan bagaimana wajah CENGAR-CENGIR si pengemudi mobil Panther --yang ternyata nggak bisa mengendalikan stirnya dalam kecepatan tinggi dari arah bahu jalan (bus yang saya tumpangi ada di jalur paling cepat) sehingga menabrak bus-- yang akhirnya saya liat waktu bus berhenti di rest area tempat perwakilan Primajasa berada. Ampun deh, mukanya bikin kesel setengah mati!!!! Dengan sunglasses yang diletakkan di atas kepala, dia SOK NGELIAT2 bagian bus yang penyok. Masih dengan CENGIRAN yang salah tempat itu. (%&#)#*)@#^*)@!! Ya ampun, gue beneran hampir mati tadi...


Perasaan itu terus ada walaupun kadar ke-bikin merinding-annya semakin berkurang ketika saya sampai di BNI pangkalan damri Jatinangor untuk melakukan registrasi (baca: bayaran) dan kampus untuk mengurus syarat-syarat sidang yang lain. Akhirnya sampai juga. Walaupun "perjalanan" saya belum berhenti sampai di situ. Kampus yang sepi membuat saya sempat suudzon, jangan-jangan udah tutup nih SBA. Tapi ketika melihat Pak Yaya masih ada di bangkunya, saya lega. Walaupun setelah itu keki karena nggak boleh minta surat keterangan udah-bayaran-tapi-belum-didebet karena sks saya di transkrip yang masih 138. Ampun deh Pak, revisi laporan job training Insya Allah pasti saya kasih hari Senin ke Bu Iim. Biar nilainya langsung dapet hari itu juga. Tapi toh percuma, nggak bisa. ##)@*(!@&(!@&#!@)!()

Kecewa di SBA, puas di perpustakaan kampus. Kurang dari 5 menit surat bebas perpustakaan (nggak gini nih, nama surat sebenernya) saya dapat di tangan. Langsuuunggg saya ke jurusan dengan harap-harap cemas. Semoga belum pada pulang. Emang sih masih jam 14.15, tapi kampus udah kaya kuburan. Siapa tau gara-gara sepi jurusan diputuskan untuk tutup lebih cepat. Gawat, surat pernyataan foto-ijazah-pake-jilbab itu belum ditempeli materai dan foto. Padahal saya mau ngasih suratnya ke dekanat supaya Senin sudah bisa saya ambil lagi setelah pak dekan tanda tangan. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaalhamdulillah. Jurusan masih buka ternyata, walaupun lagi dipel. Tandanya hampir ditutup. Pak Dahlan juga udah sibuk YM-an, Pak Yudi mondar-mandir sambil bawa gelas, Bu Ita udah beres-beres. Terserah deh, yang penting gue minta lem, nip dosen wali, dan list persyaratan sidang. The time REALLY was running out and I had not delivered the form to gedung 1 yet. Pengen buru-buru, Bu Ita malah ngajak ngobrol soal gas. Abis itu tentang rumah tipe 21-nya. Abis itu tentang harga gas yang naik. Abis itu tentang korelasi di antara ketiganya. Abis itu... (@&#)@(#)!@&!@^@_#)@#_#(#*#^#*.

Jam 14.45, saya balik lagi ke gedung 1 untuk menaruh surat. Di tangga papasan dengan seorang bapak. Nyapa nggak, ya. Nyapa. "Pak, udah tutup, ya?" (itu mah nanya) sambil melirik ke ruang pak dekan. "Iya, udah tutup." Loading, baru saya nyadar. RUANGAN PAK DEKAN GELAP GULITA. (&@()#&^@@(!*#!@)(!)@)@*#!@*

Untung saya cepet eling, lalu inget belum shalat Dzuhur. Istighfar sambil jalan ke mushalla. Lemes. Gondok. Sia-sia gue ke kampus! Eh Astaghfirullah, nggak ko.. kan dapet surat perpus (alah 5 menit jadi!! nggak ada orang ribet yang mesti tanda tangan!!). Ketika melihat Ain & Aris di depan mushalla, sedikit kegondokan saya berganti senyum. Sadar itu udah hampir jam 3 dan masih harus ke Bandung untuk ketemu dosen pembimbing buat minta tanda tangan rekomendasi sidang komprehensif (tentu saja setelah bab 4 saya disetujui), setelah shalat saya pamit walaupun merasa maleeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeees banget ke Bandung. Tukang ojek terakhir yang mangkal di Fikom mendapatkan kembali bagian dari rezekinya hari itu lewat tarif Fikom-Pangdam yang saya bayar. Perasaan masih kesel, hati masih nggak enak, tapi ya udahlah. Yang penting abis dari LPM saya bisa pulang lagi ke Jakarta. OH YA AMPUN, BELUM NELFON TRAVEL. Aaaa pikun banget sih gueeee!!! Sambil nunggu Damri jurusan Dipati Ukur itu jalan, saya mencoba menelepon travel agent --yang harga tiketnya paling murah duluan--. NETWORK BUSY. MENTARI KENTUNG!! Di saat-saat kritis gitu malah susah diajak kerjasama. Dan bisa ditebak, saya nggak dapet tiket yang paling murah. $!@!#*!^)!*@)*

Baru mau nelfon travel agent kedua, sebuah sms masuk. Dari Quary, teman satu dosen pembimbing saya. Ndah, lo nggak usah ke Bandung. Pak Iri nggak ada. Jadinya besok jam12.


..... BUNUH AJA GUE SEKARANG.


Beneran, deh. Saking keselnya saya sompral. Nggak inget kalau sebelumnya saya hampir terbunuh. Saat itu saya semakin gondok, semakin sebel, dan tiba-tiba ngerasa sia-sia karena semua nggak berjalan sesuai rencana. Rencana untuk bolak-balik Jakarta-Bandung-Jakarta karena Sabtu mau ke SD, SMP, dan SMA saya untuk legalisir ijazah (yang juga adalah persyaratan sidang); tapi justru harus ke dosen pembimbing. Jam 12 pula. Nggak mungkin kekejar kalo masih maksa legalisir, sekolah pasti udah tutup pulang dari Bandung.

Kemudian saya coba memikirkan rencana kedua. Telepon Pak Iriana, tanya apakah beliau ke kampus hari Senin, setelah saya inget Bu Ita bilang Senin ada rapat dosen. At least jadinya saya bisa tetep pulang ke Jakarta hari Jumat itu, dan legalisir ijazah besoknya.

"Halo Pak Iri, saya Indah mahasiswa bimbingan Bapak. Bapak hari Senin ada di Nangor, nggak?"

"Nggak, saya mau ke Bogor. Besok aja bimbingannya."
@)$#*@!$)&$^##^#$#(#$(!)_

Terpaksa harus nginep. Tapi di Nangor nggak ada anak-anak. Eh ada deng, Quary & Ain. Tapi saya nggak bawa baju & kerudung, sementara Quary & Ain nggak pake kerudung. Dan nggak gendut kaya saya. UGHHH.

Tiba-tiba teringat seorang sahabat saya, Wulan (kalau lagi bingung emang suka lama ngeh-nya). Rumahnya emang tempat kabur paling asik. Baju seukuran (walaupun tetep kecilan dia menurut saya), sama-sama pake kerudung. Dan rumahnya di Buah Batu, akses lebih gampang kalau mau ke LPM besok siang.

"Kemane aje loooo.. ya boleh lah bos, nginep tempat gue. Tapi gue lagi latian marching band dulu."

"Gampang, gue ke Bandung deh sekarang. Ntar kite ketemuan aja di mana kek, atau lo kabarin aja kalo dah pulang. Biar gue langsung ke rumahlo."

Rasanya kaya mendengar bedug Maghrib di bulan puasa. Lega. Hehhehehehe walaupun masih sepet gara-gara semua kejadian yang saya alami hari itu. Ah udahlah... semuanya pasti ada hikmahnya. Saya yakin Allah akan memberi saya sesuatu. Amin. TAPI SUMPAH GUE KESEL BANGET... (setan's speaking. you may continue cursing and screaming)

Akhirnya saya naik bus Damri lagi (oia abis nerima sms dari Quary tadi saya jadi bingung, trus malah turun bus karena merasa nggak perlu lagi ke Bandung). Saya inget sahabat saya yang lain, Izar, ada di Dipati Ukur karena mau minta tanda tangan ketua jurusan saya yang sedang menghadiri acara pengukuhan guru besar di kampus DU. Sementara nunggu Wulan pulang, saya berniat nyamperin Izar, biar nanti bisa pulang bareng (rumah Izar dekat dengan rumah Wulan). Sekalian bisa makan bareng dulu, nyamperin sahabat saya yang lain, Omar, di rental PS-nya di samping kampus DU, ngobrol, apa kek. Saya pun mulai menyusun rencana lagi. Dengan sekaleng Coca Cola Zero (i'd been craving for it) di tangan, semilir angin sore, dan bus Damri yang nggak terlalu penuh, saya merasa jauh lebih tenang... dan ngantuk. Hehehehheeh.. ;)

Apa yang terjadi selanjutnya... membuat saya merasa semakin lega. Dan tenang. With my best friends around me. Ketika melihat Izar nunggu saya dengan sabar dan kemudian memeluk saya, ketika mendengar cerita Omar yang membuat saya tertawa, ketika bebek bakar Van Java yang udah lama nggak saya makan itu terasa enak banget di mulut, semua kejadian yang menyulut emosi siang itu seakan nggak berarti apa-apa buat saya. Walaupun saya nggak akan pernah lupa gimana kencengnya benturan mobil Panther itu, ekspresi helpless Pak Yaya yang nggak bisa memproses apa-apa, gelapnya ruang pak dekan, dan bubarnya semua rencana awal yang sudah saya susun, saya nggak mau menganggap hari itu sebagai hari sial saya. Karena saya tau, Allah pasti sudah mempersiapkan sesuatu yang indah untuk mengganti semua kekecewaan saya itu.


Dan kehadiran sahabat-sahabat saya malam itu merupakan sesuatu yang indah.


Dan tanda tangan Pak Iriana di lembar pengesahan sidang komprehensif esok harinya semakin mempertegas keindahan pemberian Allah.


Dan semakin membuat saya yakin, that everything happens for a reason.



"the darkest night is the one before dawn." (Anonymous)