Malam itu hujan deras. Aku dan orang tuaku dalam perjalanan menuju rumah kedua tante ayahku. Ayahku yatim piatu. Dari sedikit orang tua yang tersisa adalah kakak beradik ini. Namanya Hen dan Niek. Aku memanggilnya dengan embel-embel "Eyang". Mereka berdua tinggal satu atap dan tidak menikah.
Saat itu aku sedang kesal pada ayahku. Alasannya simpel, dia menolak keras kuajak nonton. Ada 2 film Indonesia yang ingin kutonton di bioskop. Ibu menanggapi ajakanku dengan semangat. Ayahku, seperti yang kubilang, menolak.
"Nggak. Ngapain nonton film melayu? Jelek."
"Ini filmnya bagus. Aku udah baca review dari orang-orang."
"Nggak! Tembak-tembakannya garing!" nada suara ayah meninggi.
"Gimana film Indonesia mau maju kalo warganya nggak mau nonton?" aku setengah berteriak.
"Ya biarin aja. Kan ada yang lain yang mau nonton. Papa nggak!"
"Ya udah! Aku nonton sendiri aja!"
"Sana. Papa mau main tenis!"
Aku mangkel dalam diamku. Meracau dalam hati. Ayah sedang menyebalkan! Apa salahnya sih, nonton film Indonesia yang sepertinya bagus, di waktu keluarga seperti libur lebaran ini? Toh it's been a while since the last time we went to the cinema together. Lagipula tiketnya juga murah, kok. Kenapa juga dia mesti ngata-ngatain film Indonesia, eh, Melayu (whatever!) jelek?! Apa ruginya sih, mengapresiasi hasil karya anak negeri? Kalau memang nggak mau nonton, biasa aja dong, ngomongnya!
Biasanya aku tak pernah ambil pusing kalau ayah tidak mau pergi ke bioskop. Toh biasanya aku juga nonton dengan teman-teman. Paling banyak sebulan sekali aku nonton dengan orang tuaku. Tapi saat itu aku sedang ingin nonton dengan mereka. I mean, it's holiday. It's family time. But my dad just blew me off!
Nampaknya ibu sudah paham dengan situasi seperti itu, mood suaminya sedang tidak bagus. Makanya dia diam saja. Kalau dia ikut berbicara, pasti persoalannya akan panjang.
***
Sebuah mobil Jazz silver terparkir di depan rumah Eyang Hen dan Eyang Niek.
"Wah itu Caca, ya?" tanya ibu ke ayah.
"Kayaknya." jawab ayah dengan tenang.
Caca adalah sepupu ayah. Ibu Caca dan eyang putri kakak beradik. Jadi, Oom Caca, begitu aku memanggilnya, juga keponakan Eyang Hen serta Eyang Niek.
Ketika aku masuk ke pekarangan rumah itu, aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Oom Caca, seorang suster, dan asisten rumah tangga eyang sedang menuntun Eyang Harefa, ayah Oom Caca. Usia Eyang Harefa sudah lanjut. Dia sakit. Mungkin stroke, aku juga kurang mengerti. Dia sudah sulit berjalan. Mungkin itu juga mengapa Oom Caca menyediakan suster untuk Eyang Harefa.
Eyang Harefa mengeluh sakit. Badannya gemetar. Oom Caca dan suster berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap berjalan. Eyang Harefa ragu, menurutnya dia tidak kuat. Kakinya sakit. Oom Caca pun mencoba menggendongnya, tapi dalam hitungan detik Eyang Harefa mengerang. Perutnya sakit, katanya. Oom Caca terlihat lelah, tapi dia tetap membantu ayahnya berjalan.
"Ayo Pa, Papa pasti bisa jalan. Mas jagain."
"Susah. Nggak kuat." keluh Eyang Harefa.
"Bisa Pa, pasti bisa. Ayo pelan-pelan."
Oom Caca, suster, dan mbak yang membantu Eyang Hen dan Eyang Niek memapah Eyang Harefa ke mobil. Saat itu gerimis, aku mengambil inisiatif memayungi mereka.
Perlahan-lahan Eyang Harefa mencoba berjalan. Beberapa kali kudengar dia mengaduh. Ekspresi wajahnya menggambarkan dia tidak kuat lagi. Dia lelah, ingin duduk. Tapi Oom Caca terus menuntunnya dan meyakinkan ayahnya untuk terus berjalan.
"Mas pegangin Pa, Mas jagain."
Lima belas menit dihabiskan Oom Caca untuk membawa ayahnya ke dalam mobil. Dari teras rumah Eyang Hen dan Eyang Niek yang hanya berjarak kurang lebih lima meter dengan mobil. Oom Caca pun masih harus mendudukkan ayahnya di dalam mobil dengan hati-hati karena nampaknya Eyang Harefa sangat mudah kesakitan.
Dalam lima belas menit itu pun aku membayangkan menjadi Oom Caca, dan Oom Harefa adalah ayah. Apakah aku juga akan seperti Oom Caca yang sabar membantu ayahnya berjalan? Atau aku akan freak out dan malah menganggapnya beban? (God forbid)
Tiba-tiba aku teringat masa kecilku. Ketika ayah mengajarkanku jalan. Ketika ayah menggendongku. Ketika ayah terbangun menemani ibu di malam hari karena aku menangis...
Dalam lima belas menit itu, aku teringat pertengkaranku dengan ayah setengah jam yang lalu.
Saat itu aku sedang kesal pada ayahku. Alasannya simpel, dia menolak keras kuajak nonton. Ada 2 film Indonesia yang ingin kutonton di bioskop. Ibu menanggapi ajakanku dengan semangat. Ayahku, seperti yang kubilang, menolak.
"Nggak. Ngapain nonton film melayu? Jelek."
"Ini filmnya bagus. Aku udah baca review dari orang-orang."
"Nggak! Tembak-tembakannya garing!" nada suara ayah meninggi.
"Gimana film Indonesia mau maju kalo warganya nggak mau nonton?" aku setengah berteriak.
"Ya biarin aja. Kan ada yang lain yang mau nonton. Papa nggak!"
"Ya udah! Aku nonton sendiri aja!"
"Sana. Papa mau main tenis!"
Aku mangkel dalam diamku. Meracau dalam hati. Ayah sedang menyebalkan! Apa salahnya sih, nonton film Indonesia yang sepertinya bagus, di waktu keluarga seperti libur lebaran ini? Toh it's been a while since the last time we went to the cinema together. Lagipula tiketnya juga murah, kok. Kenapa juga dia mesti ngata-ngatain film Indonesia, eh, Melayu (whatever!) jelek?! Apa ruginya sih, mengapresiasi hasil karya anak negeri? Kalau memang nggak mau nonton, biasa aja dong, ngomongnya!
Biasanya aku tak pernah ambil pusing kalau ayah tidak mau pergi ke bioskop. Toh biasanya aku juga nonton dengan teman-teman. Paling banyak sebulan sekali aku nonton dengan orang tuaku. Tapi saat itu aku sedang ingin nonton dengan mereka. I mean, it's holiday. It's family time. But my dad just blew me off!
Nampaknya ibu sudah paham dengan situasi seperti itu, mood suaminya sedang tidak bagus. Makanya dia diam saja. Kalau dia ikut berbicara, pasti persoalannya akan panjang.
***
Sebuah mobil Jazz silver terparkir di depan rumah Eyang Hen dan Eyang Niek.
"Wah itu Caca, ya?" tanya ibu ke ayah.
"Kayaknya." jawab ayah dengan tenang.
Caca adalah sepupu ayah. Ibu Caca dan eyang putri kakak beradik. Jadi, Oom Caca, begitu aku memanggilnya, juga keponakan Eyang Hen serta Eyang Niek.
Ketika aku masuk ke pekarangan rumah itu, aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Oom Caca, seorang suster, dan asisten rumah tangga eyang sedang menuntun Eyang Harefa, ayah Oom Caca. Usia Eyang Harefa sudah lanjut. Dia sakit. Mungkin stroke, aku juga kurang mengerti. Dia sudah sulit berjalan. Mungkin itu juga mengapa Oom Caca menyediakan suster untuk Eyang Harefa.
Eyang Harefa mengeluh sakit. Badannya gemetar. Oom Caca dan suster berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap berjalan. Eyang Harefa ragu, menurutnya dia tidak kuat. Kakinya sakit. Oom Caca pun mencoba menggendongnya, tapi dalam hitungan detik Eyang Harefa mengerang. Perutnya sakit, katanya. Oom Caca terlihat lelah, tapi dia tetap membantu ayahnya berjalan.
"Ayo Pa, Papa pasti bisa jalan. Mas jagain."
"Susah. Nggak kuat." keluh Eyang Harefa.
"Bisa Pa, pasti bisa. Ayo pelan-pelan."
Oom Caca, suster, dan mbak yang membantu Eyang Hen dan Eyang Niek memapah Eyang Harefa ke mobil. Saat itu gerimis, aku mengambil inisiatif memayungi mereka.
Perlahan-lahan Eyang Harefa mencoba berjalan. Beberapa kali kudengar dia mengaduh. Ekspresi wajahnya menggambarkan dia tidak kuat lagi. Dia lelah, ingin duduk. Tapi Oom Caca terus menuntunnya dan meyakinkan ayahnya untuk terus berjalan.
"Mas pegangin Pa, Mas jagain."
Lima belas menit dihabiskan Oom Caca untuk membawa ayahnya ke dalam mobil. Dari teras rumah Eyang Hen dan Eyang Niek yang hanya berjarak kurang lebih lima meter dengan mobil. Oom Caca pun masih harus mendudukkan ayahnya di dalam mobil dengan hati-hati karena nampaknya Eyang Harefa sangat mudah kesakitan.
Dalam lima belas menit itu pun aku membayangkan menjadi Oom Caca, dan Oom Harefa adalah ayah. Apakah aku juga akan seperti Oom Caca yang sabar membantu ayahnya berjalan? Atau aku akan freak out dan malah menganggapnya beban? (God forbid)
Tiba-tiba aku teringat masa kecilku. Ketika ayah mengajarkanku jalan. Ketika ayah menggendongku. Ketika ayah terbangun menemani ibu di malam hari karena aku menangis...
Dalam lima belas menit itu, aku teringat pertengkaranku dengan ayah setengah jam yang lalu.